Rabu, 08 Oktober 2014

18.00 pm

18.00 pm
Pagi itu suasana sekolah dyta gempar dengan kabar yang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Kabarnya ada salah satu siswa yang karena ada kegiatan tambahan hingga pulang melebihi jam peraturan yang  diterapkan sekolah, yaitu semua siswa dilarang berada di area sekolah lebih dari jam 18.00. Entah apa alasan pihak sekolah membuat peraturan seperti itu. Yang pasti bila ada siswa yang berani melanggar akan diskorsing. Siswa itu menuturkan bahwa dimalam kejadian telah melihat penampakan hantu wanita yang berjalan melayang disekitar kelas paling pojok yang konon katanya telah dihuni makhluk lain karena dibiarkan lama tak diisi. Tak jauh dari kelas kosong tersebut ada sebuah taman kecil beralaskan rumput. Ditengahnya terdapat dua patung hewan kijang, yang satu kepalanya merunduk sedangkan yang satunya lagi berkepala tegak. Siswa itu pun menambahkan kalau kedua patung tersebut pun bergerak hidup layaknya hewan hidup kebanyakan.
Kegemparan atas kejadian yang dialami siswa tadi malam itu langsung membuat banyak tanya dikepala semua penghuni sekolahan itu, termasuk Dyta 'en the gank. Dyta memang merasa heran dengan peraturan yang dbuat sekolah tentang dibatasinya siswa untuk beraktifitas diluar jam sekolah sampai malam, padahal terkadang untuk mengerjakan tugas atau melakukan kegiatan ektrakulikuler bisa menghabiskan waktu sampai malam walaupun jauh dari kata larut. Seperti sekolah lain yang membebaskan siswa-siswanya untuk beraktifitas sampai malam. Maka kejadian tadi malam membuat Dyta berpikir negatif bahwa semua itu ada kaitannya dengan peraturan yang diterapkan sekolah. Ada rahasia apakah di sekolah pada jam 18.00?.
“ Semua kabar itu bohong! Itu hanya omong kosong siswa yang ingin mencari sensasi saja.” seru salah satu guru ketika ditanya perihal kebenaran kejadian yang dialami siswa itu.
“ Lalu kenapa ada peraturan tentang dibatasinya waktu sampai 18.00? Apa ada kaitannya dengan kejadian siswa itu?” tanya gina, teman Dyta yang exited dengan hal yang berbau mistis atau horor.
“ Bukan begitulah. Pihak sekolah hanya tak ingin bertanggung jawab bila ada siswa terlambat pulang  ke rumah” dalih guru itu .
Semakin banyak tanya yang diajukan para murid, semakin pintar juga guru-guru berdalih tapi sekeras apapun dalih yang dilontarkan para guru tak membuat siswa-siswa diam begitu saja untuk tidak merasa penasaran.
“ Aku yakin pasti ada misteri kenapa jam 18.00 sekolah harus sudah ditutup” ucap Gina dengan mimik muka super serius.
“ Ehm, nggak begitu juga. Aku pikir, bisa jadi kejadian itu hanya halusinasi anak itu saja, karena dia sendirian hingga pikiran paranoid hinggap dikepalanya apalagi suasana sekolah begitu sepi dan gelap.” tepis Andri menyanggah pernyataan Gina.
Dan wajar kalau Andri berkata seperti itu. Bagi Andri hal yang bersifat takhayul dan mistis itu tidak ada. Menurut Andri, rasa takut merupakan perasaan paranoid yang diciptakan oleh diri sendiri hingga menyebabkan halusinasi pada orang yang bersangkutan. Andri sama sekali tidak percaya adanya hantu atau setan sekalipun. Gina hanya terdiam mendengar ucapan Andri, begitu juga Dyta.

Sekolah tampak lenggang dan sepi seusai lonceng pulang berbunyi. Mungkin hanya beberapa siswa yang terlihat masih tinggal disekolah karena kegiatan ekstrakulikuler atau hanya sekedar nongkrong saja. Begitupun Dyta yang tidak segera pulang seusai bel berbunyi. Hari ini Dyta ada tugas piket membereskan buku-buku diperpustakaan. Harusnya tugas piket dikerjakan oleh dua orang tapi karena teman piket Dyta tidak masuk sekolah maka mau nggak Dyta harus mengerjakannya sendiri. Suasana perpustakaan seusai bubar sekolah tampak sepi, hanya beberapa orang yang masih tinggal diperpustakaan. Tak lama satu persatu mereka pun meninggalkan perpustakaan dan membiarkan Dyta bertugas sendirian. Tanpa ada seorang pun. Dyta melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Dalam hening Dyta melihat kesekeliling perpustakaan, sunyi dan sepi. Tiba-tiba Dyta teringat kejadian yang dialami siswa lain tadi malam, terlebih lagi kejadian tersebut terjadi dilorong koridor dekat kelas kosong yang sudah lama tak terpakai dan dibiarkan begitu saja berantakan. Dyta baru sadar kalau kelas kosong itu letaknya tepat bersebelahan dengan perpustakaan. Pikiran buruk seketika hinggap dikepala Dyta. Tanpa pikir panjang Dyta segera membereskan buku-buku yang tergeletak dimeja untuk dipindahkan ke rak agar bisa selesai sebelum jam lima sore.

Tiba-tiba Dyta merasakan angin dingin berhembus disekitar kepalanya yang disertai suara aneh yang samar. Dyta terdiam sejenak dan mengusap kepalanya perlahan seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tetap sepi dan lebih sunyi.
“BRAAKK”  suara kursi jatuh terdengar keras hingga membuat jantung Dyta serasa copot, kaget. Dyta kemudian berjalan perlahan kearah suara. Dengan jantung berdetak cepat tentunya. Terlihat sebuah kursi memang tergeletak adanya. Dyta segera membenarkan posisi kursi ke posisi semula. Tapi belum lama Dyta membenarkan posisi kursi yang tiba-tiba terjatuh, kembali Dyta dikagetkan dengan suara jendela yang terbuka dengan suara yang keras. Dan seketika halaman sekolah dengan taman kecilnya pun terlihat. Taman yang terdapat dua patung kijang yang kabarnya pada kejadian malam itu terlihat hidup. Tak lama disusul suara buku-buku yang berjatuhan. Sesaat jantung Dyta serasa berhenti berdetak. Rasa takut seketika menjalar dari ujung rambut hingga kaki. Dyta tidak pernah berpikir kalau semua kejadian diruang perpustakaan ini bukan tanpa sengaja adanya. Dyta menelan ludah. Mukanya tampak pucat karena perasaan takut. Perlahan Dyta berjalan mendekati jendela. Detak jantungnya bergemuruh tak beraturan.
Perlahan Dyta menutup jendela, tetapi belum sepenuhnya jendela tertutup, Dyta melihat sekelebat bayangan putih melintas didepannya. Saking kaget Dyta melonjak mundur kebelakang.
‘Apa itu tadi??’ guman Dyta lirih bercampur kaget.
“ Kamu belum pulang?” tiba-tiba muncul suara parau yang bertanya dibelakang Dyta.
Dyta kontan menoleh kearah suara. Belum sedikitpun Dyta meredakan rasa terkejut dan takutnya dengan kejadian-kejadian diperpustakaan ini, Dyta kembali dikagetkan dengan suara parau dibelakangnya yang ternyata seorang cewek, mungkin salah satu siswi sekolah ini. Dyta menatap cewek yang ada dihadapannya itu. Cantik dengan rambut panjang sepinggang terurai. Tapi, kenapa mukanya begitu pucat?.
“ Kamu belum pulang?” tanyanya kembali.
“ Belum. Aku piket membereskan ruangan perpustakaan.” Jawab Dyta dengan suara agak terbata.
“ Sudah hampir magrib, kamu sebaiknya pulang saja. Ruangan perpustakaan biar aku yang bereskan.” Ucap cewek itu, tanpa ekpresi.
Dyta melirik jam tangan. Ah, ternyata benar. Sudah pukul lima sore,
“ Tapi... masih banyak buku yang belum dibereskan.”
“ Nggak apa-apa. Kamu pulang saja. Sebelum terjadi hal yang tidak kamu inginkan”
Dyta terdiam mendengar ucapan cewek itu. Maksudnya apa?.
Tanpa pikir panjang Dyta mengiyakan ucapan cewek itu untuk secepatnya pulang sebelum magrib. Setelah mengucapkan terima kasih, Dyta bergegas meninggalkan perpustakaan dan keluar dari area sekolah yang pada sore hari terasa sekali keangkerannya.

“ Seriusan, nih? Siswi aneh?” tanya Gina heran setelah mendengar cerita Dyta.
Dyta mengangguk pelan, mengiyakan.
“ Ehm... cewek yang cukup memcurigakan. Dia tahu kalau waktu bila menunjukan pukul 18.00 tepatnya hampir magrib akan terjadi hal yang tidak baik, tapi kenapa dia masih tinggal di area sekolah? Kayaknya itu cewek mengetahui sesuatu yang jadi pertanyaan semua siswa disekolah ini. Sebuah misteri kenapa sekolah menerapkan peraturan agar siswa tidak berada di area sekolah tepat jam 18.00.” Andri ikut menimpali.
“ Kita coba saja tinggal di area sekolah sampai magrib tiba, bagaimana?” ajak Gina yang langsung disambut gelengan tegas Dyta. Hal gila seperti itu tidak mungkin di iyakan Dyta apalagi sesudah kejadian kemarin sore ketika dirinya berada diperpustakaan, banyak kejadian yang membuat dirinya serasa susah untuk sekedar bernafas.
“ Kamu jangan gila, Gin. Aku nggak mau jantung copot gara-gara mengalami hal menyeramkan.” Dyta menolak tegas.
“ Nggak akan lah, Dyt. Kita hanya ingin tahu saja kebenaran tentang kabar itu. Ingin membuktikan juga, apa yang menjadi alasan pihak sekolah membuat peraturan seperti itu.” Gina berusaha meyakinkan Dyta tentang rencananya.
Dyta tetap menggelengkan kepala. Dyta sadar betul kalau dirinya adalah tipe orang yang lumayan penakut. Maka, benar-benar tindakan yang bodoh bila dia mau melakukan hal yang menjadi pantangannya.

Bel tanda berakhirnya kegiatan sekolah berbunyi. Semua siswa dengan kompak berhamburan keluar kelas. Begitupun dengan Dyta, tak ingin mencoba berlama-lama berada disekolah semenjak kejadian kemarin. Tidak semua siswa memang usai belajar langsung bergegas pulang. Ada yang karena mengerjakan tugas tambahan membuat sebagian siswa terpaksa tinggal di sekolah untuk menyelesaikannya. Dyta bergegas keluar dari kelas ketika bel berbunyi tanda berakhirnya pelajaran. Awalnya Dyta berencana untuk bolos ekstrakulikuler kesenian hari ini, Dyta merasa cukup sekali saja merasakan ketegangan karena perasaan takut  apabila berlama-lama tinggal di area sekolah. Suasana sekolah sore hari benar-benar tidak bersahabat. Tapi sial bagi Dyta, niat bolosnya ketahuan pembina eskul maka mau tak mau Dyta pun terpaksa ikut.

Selama kegiatan eskul berlangsung, entah kenapa perasaan Dyta tak menentu. Apalagi ketika Dyta disuruh mengambil peralatan eskul diruang perlengkapan yang letaknya tak jauh dari perpustakaan. Dengan malas Dyta pun pergi keruang perlengkapan.
“ Neng… Neng Dyta.” Panggil seseorang dari belakang
Dyta menoleh kearah suara yag ternyata Pak Kirman, penjaga sekolah.
“ Mau mengambil peralatan kesenian, neng?” Tanya Pak Kirman.
Dyta mengangguk.
“ Iya, Pak.”
“ Maaf, neng. Neng ambil saja peralatannya diruang perpustakaan, tadi ruang peralatannya harus dikosongkan dulu jadi semua barang keperluan eskul sementara berada diperpustakaan” kata Pak Kirman menjelaskan.
Dyta terdiam. Mungkin daritadi perasaannya nggak menentu karena tahu akan terjadi hal seperti ini.
“ Oh iya, neng… lain kali kalau mau berada lama di sekolah, beritahu bapak, ya. Takutnya neng nanti ke kunci. Neng kan tahu peraturan sekolah melarang siswanya berada di sekolah lebih dari jam 18.00” timpalnya lagi.
“ Tapi bukan saya, kok kemarin yang pulang terakhir. Masih ada siswi lain yang berada di perpustakaan” Ucap Dyta.
“ Setahu bapak, neng yang terakhir pulang”
Dyta lalu menjelaskan semuanya berikut tentang siswi yang ditemuinya sewaktu diperpustakaan. Dyta juga menjelaskan cirri-ciri siswi tersebut.
Pak Kirman langsung terdiam. Ditatapnya Dyta dengan penuh heran.
“ Bapak tahu siswi yang ciri-cirinya neng sebutkan itu, dia memang siswi sekolah ini tapi neng, siswi tersebut sudah meninggal.”
Deg. Jantung Dyta serasa berhenti berdetak mendengar ucapan Pak Kirman. Dyta segera mengambil peralatan kesenian dengan ditemani Pak Kirman lalu bergegas pergi.

Eskul hari ini dirasa sangat menyita waktu bagi Dyta. Jam setengah enam Dyta baru menyelesaikan eskulnya. Dengan ditemani Gina dan Andri, Dyta membereskan peralatan eskulnya lalu membawanya ke ruang perpustakaan untuk disimpan kembali. “ Cepetan, dong jalannya. Sudah hampir jam magrib, nih.” Ucap Dyta.
“ Sabar, berat nih peralatannya.”
Dyta, Gina dan Andri bergegas memasuki ruangan perpustakaan. Ruangan tampak sepi dan sunyi dengan rak-rak berjejer rapi. Andri merasakan suasana menyeramkan yang benar-benar membuat perasaan tak menentu.
“ Perasaan aku nggak enak begini. Cepat-cepet beresin terus cabut.” Ucap Andri yang di iyakan oleh Dyta dan Gina.
Dyta dan Andri segera menyimpan peralatan dan sedikit membereskan posisinya biar tidak berantakan. Lalu tanpa mensia-siaan waktu Dyta, Andri dan Gina bergegas meninggalkan ruangan perpustakaan. Tapi baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba pintu perpustakaan tertutup dengan sendirinya. Andri segera berlari menuju pintu dan berusaha membukanya. Tapi pintu tidak dapat terbuka.
“ Kenapa pintunya tertutup sendiri, sih?” Tanya Gina heran.
“ Sekarang sudah jam 18.00. kalian ingat nggak cerita aku kemarin?” ucap Dyta agak terbata. Rasa takut sedikit demi sedikit hinggap didiri Dyta, begitupun Gina.
“ Dri, cepat buka pintunya. Masa cowok nggak bisa membuka pintu, sih?” Gina mulai panik.
“ BRAAAKKK” suara benda jatuh terdengar keras menggema. Semuanya tampak diam tercekat. Disusul dengan suara buku-buku yang berjatuhan kelantai. Semuanya langsung panik. Andri terus berusaha membuka pintu, tapi sia-sia sedikitpun pintu nggak bergeser.
“ Kalian belum pulang? Sudah hampir magrib, lho?”
Semuanya diam tercekat mendengar suara parau yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Terutama Dyta, wajahnya langsung pucat pasi mendengar kalimat itu.
Andri perlahan menoleh ke belakang, kearah suara sedangkan Dyta dan Gina saling berpelukan karena takut. Tak ada siapa-siapa.
“ Wooiii… siapa diluar, tolong bukakan pintu.” Teriak Andri seraya menggedor-gedor pintu.
“ BRAAKKK”  kembali suara benda jatuh terdengar, kali ini lebih keras. Tak lama, disusul suara senandung lirih.
Semua tampak panik. Andri yang hilang kesabaran akhirnya mendobrak pintu dengan sekuat tenaga, dibantu Dyta dan Gina.

Andri, Dyta dan Gina bergegas keluar ketika akhirnya pintu berhasil terbuka, meskipun harus didobrak. Mereka segera berlari menjauh dari ruang perpustakaan. seketika lari mereka terhenti ketika dilihatnya ada seekor kijang yang menghalangi. Matanya bersinar merah menatap tajam kearah mereka. Dyta menoleh kearah taman kecil dimana patung kijang berada. Dan… astaga, patung kijangnya nggak ada.
Gina yang ketakutan menjerit histeris.
“ Balik arah, lewat sini.” Andri berteriak seraya berlari yang di ikuti Dyta dan Gina.
Mereka berlari melalui koridor melewati kelas demi kelas menuju gerbang keluar. Tapi, lagi-lagi lari mereka terhenti dan muka mereka pun tercekat melihat sosok yang menghadang mereka.
Sosok perempuan yang memakai pakaian putih dengan rambut panjang terurai dan wajah merunduk tengah menghadang mereka. Sosok itu berjalan pelan dengan kaki terseok-seok mendekati mereka. Gina dan Dyta berteriak histeris.
“ Lari cepat ke arah belakang..!!” teriak Andri.
Dyta dan Gina pun berlari mengikuti Andri dengan uraian airmata saking takutnya. Entah mimpi apa malam-malam kemarin hingga harus mengalami hal menegangkan seperti ini. Ditengah larinya, Gina sekilas melihat kearah belakang.
‘astagaaa…’ makhluk itu terus mengikuti. Langkahnya yang terseok-seok malah semakin cepat mengikuti. Gina semakin histeris hingga lututnya terasa bergetar lemas, dan akhirnya terjatuh. Dyta sekuat tenaga berusaha mengangkat tubuh Gina agar cepat berdiri.
“ Andri, tolong Gina…” teriak Dyta. Namun Andri tak mendengar dan berlari semakin jauh meninggalkan Dyta dan Gina yang terjatuh. Dyta panik. Dilihatnya arah belakang dimana makhluk perempuan itu mengejar. Tapi, makhluk itu tiba-tiba menghilang. Dyta mengedarkan pandangan keseluruh penjuru, tetap makhluk itu tidak ada. Dyta segera membangkitkan Gina yang terjatuh lalu berusaha berlari kembali, dan….
“ Aaaaaarrrgggghh….” Gina dan Dyta berteriak hisretis ketika dilihatnya makhluk perempuan itu sudah ada dihadapan mereka. Sangat dekat bahkan. Gina langsung tak sadarkan diri. Sedangkan Dyta beringsut mundur seraya menangis melihat makhluk yang sedari tadi mengejarnya sudah berada dihadapan wajahnya.
Terlihat dengan jelas wajah makhluk itu. Dengan kulit keriput dan bola mata yang…astaga, putih semua. Bibirnya menyeringai mengeluarkan tawa yang mengekeh menakutkan . Dyta menutup matanya, tak sanggup melihat kengerian yang ada dihadapannya. Bibir Dyta komat-kamit melafadzkan doa yang tak henti.

Suasana hening. Tak ada suara tawa ataupun suara langkah terseok. Perlahan Dyta membuka mata. Mahkluk itu tak ada lagi dihadapannya. Dyta membuka mata lebar-lebar seraya mengatur nafasnya yang terengah-engah. Tapi tiba-tiba Dyta merasakan hembusan nafas berasal dari sampingnya. Dengan jantung berdetak, Dyta perlahan menoleh kesamping dan… astaga, makhluk itu berada tepat disamping Dyta dengan wajah menyeramkannya. Dyta kontan memalingkan muka dan tanpa melihat keadaan kepala Dyta terantuk tembok dan tak sadarkan diri.

Ketika membuka mata, Dyta melihat sudah banyak kerumunan orang. Mulai dari Pak Kirman, guru wali kelas dan kepala sekolah juga orang tua Dyta. Terlihat juga Andri yang tengah berdiri dihadapan Dyta seraya tersenyum tipis. Kulihat juga Gina dibopong yang ternyata masih tak sadarkan diri. Setelah suasana tenang dan kondusif, Dyta menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Semua orang yang mendengarkan terdiam, terutama Pak Kepsek.
Esok harinya, sekolah mendadak diliburkan selama seminggu. Dan atas permintaan Pak Kepsek untuk merahasiakan kejadian yang terjadi dan berjanji akan mengusut semuanya hingga tuntas.

Dyta termenung dikamar. Kejadian menegangkan yang menimpa dirinya tak akan pernah ia lupakan. Kejadian yang untuk seumur hidupnya baru pertama kali terjadi ini akan menjadi cerita tersendiri didalam hidupnya.



















Kau bukan untukku...

Valentine, Kau Memang Bukan Untukku...

Valentine is coming. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana-mana penuh dengan hiasan warna pink. Di mall-mall semua barang atau baju yang dipamerkan bernuansa pink, mulai dari kado berbentuk hati dengan pita pink, baju atau sepatu yang disenadakan dengan tema bulan kasih sayang yang biasa disebut valentine pun dipajang bahkan asesoris yang terkecil pun tak luput dari 'sindrom' pink. Aku sempat kagum dengan warna pink, karena diantara semua warna yang ada hanya warna pink-lah yang mempunyai satu hari spesial dalam satu tahun dan paling digandrungi setiap orang terutama anak-anak remaja.
“Semua serba pink. Mulai dari baju, sepatu, asesoris bahkan toko-toko atau mall pun mendadak disulap menjadi nuansa warna pink. Cuma perabotan dapur saja kali yang nggak ada warna pink“ cerocos Nitnot, teman sekelasku. Aku tersenyum mendengarnya.
“Iyalah. Mana ada kompor warna pink, panci atau wajan pink kecuali kalau lu bikin sendiri spesial edisi valentine“ timpal Novi.
“Iya, dari dulu kan warna panci atau wajan kalau nggak silver, ya hitam, nggak ada warna lain“
“Emang ada panci atau wajan warna hitam?“ tanya Novi heran.
“Ada lah. Itu panci yang udah gosong soalnya lama dipake buat masak. Gosongnya juga cuma dipantatnya doang lagi hehehe...” Nitnot ngakak melihat ekpresi wajah masam Novi.
Aku hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatku itu.
Suasana kantin sekolah nampak lain. Bukan karena ikut-ikutan bernuansa pink tapi lebih melihat para siswi-siswi cewek yang tampak lain dari biasanya. Dari asesoris yang dipakai sampai obrolan pun membahas hal sama semua. Valentine days. Mungkin karena sekarang bulan februari maka tema obrolan para remaja pun tak jauh dari valentine, coklat, atau kado yang dinanti dari sang pacar. Kado yang berupa barang atau berupa kencan semalam. Bahkan kemarin-kemarin dalam surat kabar yang aku baca sempat ada kabar sebuah toko coklat yang didemo para warga mengenai kado valentine. Apa sebab sampai toko coklat tersebut didemo warga? Ternyata, entah ide dari si pemilik toko atau siapa, setiap pembelian coklat di toko tersebut akan mendapat satu bungkus alat kontrasepsi alias kondom. Naudzubillah. Bukankah itu berarti toko tersebut menyarankan atau memberi peluang bagi kaum remaja di hari yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang itu untuk melakukan hal tidak senonoh sebelum waktunya? Mungkin hal tersebut yang memicu kemarahan warga atas tindakan toko tersebut.
“Kenapa harus warna pink, sih?” tanya Nitnot tiba-tiba. Pandangannya mengedar keseluruh ruangan kantin. Diperhatikannya satu persatu tingkah dan obrolan siswi lain.
“Kenapa nggak warna hitam atau warna lain?” timpalnya lagi.
“Karena warna hitam udah dipake Deddy corbuzeir. Norak kali kalau melihat seorang Deddy sang mentalist memakai warna pink” jawab Novi sekenanya. Disantapnya dengan lahap bakso yang terhidang didepannya. Nitnot manyun.

Aku termenung. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada Andri, seorang sahabat sekaligus seseorang yang aku cinta. Meskipun terlambat aku menyadarinya. Valentine hampir tiba tapi aku belum menyiapkan apa-apa untuk sekedar memberi sesuatu di hari kasih sayang itu. Tapi aku ragu kalau Andri mau menerima pemberianku setelah memiliki gadis lain yang dia sayangi, bukan aku. Aku tahu, Andri menjauh karena kesalahanku, Andri acuh karena keegoisanku. Tak sedikitpun aku mau mengerti perasaannya. Aku menyesal, sungguh aku menyesal. Dalam termenung, siluet-siluet masa lalu menyeretku pada kenanganku bersama Andri dimana hari-hari dalam beberapa tahun ini aku habiskan bersamanya sebagai seorang 'sahabat’, pada awalnya dan berubah menjadi perasaan cinta pada akhirnya. Itupun aku terlambat menyadari perasaanku karena dia telah ada yang memiliki.
Rasa sayang akan terasa berbeda tergantung bagaimana kita memaknai. Dari rasa sayang terhadap orang tua, pacar, ataupun sahabat sekalipun mempunyai porsi yang berbeda-beda tergantung hati yang menyampaikan. Dan pada dasarnya setiap detiknya hati manusia bisa berubah. Itulah bukti kuasa Tuhan sebagai Dzat Maha Membolak-balikkan hati manusia.
Bukan karena sekarang bulan 'kasih sayang' atau biasa disebut 'valentine' lalu akupun terkena syndrom merah jambu dengan ikut-ikutan mengumbar keromantisan terhadap orang yang disayang atau dengan memakai baju beserta asesoris dengan nuansa merah jambu, tidak. Apalagi aku yang notabene berstatus 'high quality jomblo' ini merasa tidak ada gunanya terkena latah hari merah jambu itu. Ya, tidak berguna karena pada siapa aku memberikan rasa sayang yang spesial itu? Secara aku jomblo. Memang sih, rasa sayang tidak harus ditujukan pada pacar saja, tapi pada orang-orang disekitar kita juga bisa, contohnnya memberikan rasa sayang terhadap sahabat mungkin.
Dan mendengar kata sahabat pikiranku langsung tertuju pada seorang cowok yang selalu menemani hari-hariku tanpa aku minta.  Andrian namanya, orang yang aku sebut sebagai sahabat itu. Seorang sahabat yang care, selalu melimpahkan rasa sayang dan perhatiannya. Seorang sahabat yang peduli, selalu berusaha ada ketika dibutuhkan. Dan seorang sahabat yang menyenangkan, selalu menjadi hiburan disegala suasana. Dia tidak pernah mengeluh ketika kupingnya aku jejali dengan curhatan dan keluhanku atau sekedar menemaniku ke tempat yang aku suka. Dia selalu sabar dengan sikapku yang terkadang cuek dan terkesan egois. Aku selalu merasa nyaman untuk selalu berada di dekatnya, sebagai seorang sahabat- tak lebih.Pernah suatu ketika ada beberapa teman yang berceloteh menyatakan hal yang sama, dan jawabanku selalu sama pula.
“Wah, kalian makin lengket saja. Kenapa nggak diresmikan saja hubungannya? Jadian gitu.” Aku tersenyum mendengar pertanyaan yang sama dari mulut yang berbeda.“Kita sampai kapan pun cuma sahabat, nggak lebih“ Ucapku kala itu.
Dan aku tidak memperdulikan perasaan Andrian seperti apa ketika mendengar jawabanku yang sama dari pertanyaan tiap mulut yang berbeda itu. Meng-iya-kankah? Marah? Atau kecewa? Aku tidak tahu dan rasa egoisku mengatakan aku tidak ingin memperdulikan hal itu. Dikamusku tidak ada istilah 'dari temen menjadi demen'. Bermula dari sahabat akan tetap menjadi sahabat.
Ternyata Tuhan berkehendak lain terhadap perasaanku, karena satu tahun terakhir ini aku merasakan rasa sayang yang berbeda dari biasanya. Tuhan mengujiku dengan memberikan rasa sayang terhadap laki-laki yang hampir empat tahun ini aku sebut sebagai 'sahabat' dengan mengubah rasa sayang yang aku sinyalir sebagai 'sayang seorang sahabat ' menjadi rasa 'sayang' yang disertai perasaan 'egois', ingin memiliki seutuhnya. Rasa sayang yang melebihi rasa suka dan cinta. Rasa sayang yang menguras emosi. Aku menyadari itu semua ketika kehilangan perhatian Andrian. Entah apa yang terjadi, Andrian berubah sikap seratus delapan puluh derajat padaku. Sering menghindar ketika kuhampiri, sering menolak ketika aku mengajaknya jalan dan rasa perhatiannya pun tak lagi kurasakan. Aku tidak tahu apa yang membuat Andrian seolah menjauhiku.
Dan akhirnya aku tahu alasan kenapa Andrian berubah sikap padaku. Aku memergoki dia bersama seorang gadis. Ah, ternyata dia tengah dekat dengan gadis lain yang aku pun mengenalnya walau sepintas lewat. Campur aduk perasaanku saat itu. Ingin marah, kecewa, sedih dan perasaan lain yang tak bisa diungkapkan. Kenapa dia tidak jujur saja padaku kalau ada gadis lain disampingnya. Kenapa hanya diam dan menghindar seolah keberadaanku tak pernah ada. Kenapa dan kenapa selalu jadi tanya hatiku. Sedih tapi tak bisa aku ungkapkan.
“Sikapmu berubah, kenapa?” tanyaku suatu hari.
“Kenapa? Tanya saja pada dirimu sendiri“ jawabnya acuh.
“Kenapa kamu seolah menyalahkanku dengan perubahan sikap kamu? Salah aku apa?”Andrian diam, tak menyahut.
“Aku nggak suka kamu dekat dengan dia?”
“Kenapa? Kita kan cuma sahabat jadi nggak masalah, kan aku dekat dengan cewek manapun“ ucapnya seraya menatapku lekat lalu beranjak pergi meninggalkanku.
Aku termangu mendengarnya, baru menyadari sesuatu. Ternyata Andrian marah dengan ucapanku tempo hari. Marah karena aku selalu menganggapnya sebagai sahabat? Apa itu berarti Andrian memiliki perasaan yang berbeda sama halnya denganku? Perasaan yang berbeda untuk menjadi seorang sahabat?Semakin hari keberadaanku semakin tersisihkan karena kehadiran gadis itu yang telah mengusik perhatiannya. Aku sempat bertanya dan marah dengan perubahan sikap dia terhadapku. Dia hanya menjawab singkat 'kita hanya sahabat, kan?.Aku hanya bisa diam. Diam ketika semakin hari melihat dia semakin dekat dengan gadis itu. Kenapa aku terlambat menyadari perasaanku ketika dia sudah berpaling pada gadis lain. Menyadari bahwa sebenarnya aku menyayangi dia bukan hanya sekedar sahabat“Hai! melamun saja. Udah bel, kita masuk kelas, yuk” ujar Novi membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk pelan lalu beranjak melangkah mengikuti Novi dan Nitnot.
Pagi itu semua tampak sibuk dengan adanya acara valentine night party. Mulai dari panitia penyenggara, yang notabene anak dari kepala yayasan sekolahku itu sampai dari para siswa-siswinya. Ada yang sibuk membicarakan masalah kostum bahkan sampai sibuk mencari gebetan buat teman kencan di party nanti.
“Miris aku melihat mereka. Valentine yang jelas-jelas bukan budaya ataupun tradisi kita tapi begitu digemborkan perayaannya sampai menjadi budaya tiap tahunnya. Lalu bagaimana dengan maulud Nabi yang jelas-jelas lebih harus diutamakan? Cuma segelintir orang yang merayakannya.” kata Aisyah, teman sebangku tiba-tiba berkomentar. Aku hanya tersenyum, tak menyahut. Wajar Aisyah berkata seperti itu. Dia seorang aktifis dakwah dan rajin ikut rohis disekolah. Kerudung panjangnya membuat dia terlihat alim dan wibawa. Seorang yang shalehah, itu setidaknya menurut pendapatku tentang dia.
“Heran, deh kenapa orang-orang begitu antusias dengan adanya valentine. Itu kan perayaan agama lain untuk memperingati seorang yang dianggap suci” ujarnya lagi.
“Budaya latah udah jadi kebiasaan orang indonesia, Aisyah. Lagipula biarin saja, ambil positifnya” kataku menimpali ucapannya.
“Sebenarnya mereka tahu nggak, sih sejarah valentine itu seperti apa? Valentine itu budaya orang pada jaman romawi” ujarnya lagi setengah bertanya.
Aku melirik Aisyah seraya mengerutkan kening. Aku sendiri pun tidak tahu sejarah adanya hari valentine itu apa. Aku cuma sebatas ikut-ikutan saja.
“Kamu tahu makna dari kata 'be my valentine'?” tanya Aisyah.
Aku menggeleng pelan.
“Kata valentine berasal dari kata latin yang berarti 'Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa'. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan lupercus, tuhan orang romawi. Maka disadari atau tidak jika kita meminta 'to be my valentine' itu berarti memintanya menjadi 'Sang Maha Kuasa' dan itu bagi islam merupakan hal 'syirik'.” cerocosnya panjang lebar.
Aku melongo mendengarnya. Kagum dengan pengetahuan dia yang sampai valentine pun sejarahnya dicari.
“Kamu tahu darimana?” tanyaku heran.
“Dari mbah Google. Banyak kok artikel mengenai valentine” jawabnya singkat.
“Sumber lain juga ada yang mengatakan bahwa 14 februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Santo Valentinus adalah seorang calon uskup Roma pada tahun 143. Dihubungkannya hari raya santo valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dipercayai bahwa 14 februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Jadi yakini kalau valentine bukan tradisi islam.” ujarnya lagi melanjutkan.
Aku semakin terbengong. Kagum. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam hatiku. Kumantapkan hati untuk tidak ikut-ikutan bervalentine ria. Itu bukan budayaku. Lalu bagaimana dengan niat memberi sesuatu pada Andri? Rasa sayangku pada Andri atau Andrian permana tidak berpaku pada valentine saja kok. Tapi murni dari hatiku.

Suasana sore hari ini disekolah tidak seperti sore-sore sebelumnya yang tampak sepi seusai semua siswa pulang, tapi kebalikannya suasana tampak rame. Mungkin karena akan dimulainya acara valentine-an nanti malam di aula sekolah. Seperti Nitnot dan novi, aku pun tidak berniat untuk ikut serta dalam acara itu. Toh, bagi kami kasih sayang tidak harus diberikan pada satu hari saja, tapi setiap hari, menit bahkan tiap detik pada orang-orang terkasih kami.
Aku berjalan di koridor, melewati kelas demi kelas menuju gerbang keluar. Hatiku tak menentu, entah harus bersikap bagaimana di depan Andri. Rasa tak rela bahwa Andri kenyataannya telah punya kekasih semakin memuncak. Tak bisa aku bayangkan ketika Andri memberikan kado terindah di hari kasih sayang pada orang lain, bukan aku seperti sebelum-sebelumnya. Mataku mulai berkaca-kaca. Ada rasa dihati ini seperti ditusuk sembilu.

Langkahku terhenti ketika kulihat ada dua sosok yang tengah berdiri dekat gerbang keluar. Hatiku semakin terasa ditusuk ketika tahu sosok itu adalah Andri dan pacarnya. Tampak mesra terlihat. Andri terlihat membelai rambut gadis yang berada di depannya. Senyum lebar tercipta disela bicaranya. Aku rindu perlakuannya yang seperti itu. Sikapnya itu harusnya untukku bukan dia. Tanpa sadar airmataku mengalir deras dipelupuk mata. Sakit.
'Tuhan, katakanlah rasa didiri ini bukan cinta, biarlah bersahabat saja karena saat ini nggak akan pernah aku miliki semua cinta didirinya. Mungkin, mengharapkan sesuatu yang tak pernah mungkin terjadi yaitu memaksanya untuk mencintaiku.'
“Kenapa menangis?” tanya seseorang yang membuatku kaget. Segera aku usap airmata yang sempat mengalir dipelupuk. Aku menoleh ke arah suara. Ternyata Aisyah, si ustadzah cantik.
Aku tersenyum tipis seraya menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya. Aisyah menatapku lekat lalu beralih menatap dua sosok yang berdiri didepan gerbang yang sedari tadi aku perhatikan.
“Berhati-hati dengan hati bila mulai bermain hati” ucapnya seraya tersenyum.
“Maksud kamu apa?” tanyaku kurang mengerti dengan ucapannya.
“Cinta itu abstrak. Bila salah mengartikan cinta bukan bahagia yang didapat melainkan rasa sakit” jawabnya?”
“Kamu mencintai Andrian, kan?” lanjutnya lagi. Aku terdiam tak menyahut. Mataku kembali berkaca-kaca.
“Aku sedikit beri saran, ya mudah-mudahan bisa menenangkan hati kamu. Mari ikut aku”
Aku berjalan mengikuti langkahnya. Kami berjalan menuju taman sekolah yang meskipun kecil tapi tampak indah.
“Mencintai. Sebaiknya nggak terlalu memusingkan itu, karena itu bukan kuasa kita. Mencintai itu urusan hati, sedangkan Allah membentengi manusia dengan hatinya. Jadi hati itu bukan kita yang ngatur, tapi Allah. Ketika kita mencintai sesuatu, itu bukan karena kita menginginkannya tapi karena Allah yang menganugrahkan perasaan itu kepada kita” ucapnya mengawali obrolan.
Aku terdiam. Aisyah menatapku seraya tersenyum.
“Aku baru menyadari kalau yang aku rasakan bukan sayang terhadap sahabat melainkan rasa sayang terhadap lawan jenis. Tapi sayang, rasa sayangku cukup aku tunjukan dalam diam. Dia sudah ada yang memiliki.” ujarku akhirnya mengungkapkan isi hati. Curhat.
“Pernah dengar, kan hadist yang berbunyi 'cintailah seseorang sekedarnya saja, karena engkau tidak akan tahu kapan cinta itu akan lenyap darimu dan bencilah seseorang sekedarnya saja, karena engkau tidak akan tahu kapan engkau akan kembali mencintainya'. Jadi, mencintai seseorang sekedarnya saja”
Aku mengangguk.
“Hati itu sensitif. Kamu mungkin tidak tahu karena belum pernah merasakan hal yang aku rasakan. Bagi kamu, mencintai seseorang harus dalam proses ta'aruf jadi tidak merasakan posisi yang aku alami.” ucapku dengan air mata yang mulai kembali menetes.
“Empat tahun aku bersamanya, dalam sebuah ikatan 'sahabat' sangat tidak mungkin kalau aku tidak sayang padanya. Bahkan sekarang aku malah mencintainya sebagai seorang gadis terhadap laki-laki, bukan sebagai sahabat. Tapi, kenyataan yang ada aku terlambat menyadari perasaanku ini, dia udah berpaling dariku dengan rasa benci. Jujur, aku nggak rela dia bersama gadis lain” cerocosku.
Aisyah terdiam. Lalu tersenyum seraya menggenggam tanganku.
“Lalu, kenapa tidak kamu relakan saja rasa tak terimamu pada apa yang tak baik untukmu? Jika sulit, endapkan beberapa saat rasa tak terimamu pada apa yang kau jalani. Allah tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Allah nggak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi yakinlah Allah selalu memberikan yang kita butuhkan. Semoga Allah menggantikan yang hilang dan yang telah pergi. Semoga Allah memberi kesabaran di hati. Jodoh kita tidak tahu, maka jalanilah seperti apa adanya”
Aku tertegun pada tiap kata yang diucapkan Aisyah. Sungguh bijak dan menyejukkan. Kata-katanya benar-benar menusuk kedalam hati, melebihi ketika aku melihat Andri bersama gadis lain. Tapi tidak menyakitkan melainkan perlahan ada perasaan damai yang entah bagaimana aku mengungkapkannya.
“Tapi semua itu tidak akan semudah diucapkan, Aisyah. Hati itu rapuh. Aku tidak bisa memaksakan untuk berhenti mencintainya.”
Untuk kesekian kalinya Aisyah tersenyum.
“Tidak perlu memaksakan, berusahalah semampunya lalu biarkan semua berjalan apa adanya. Yakinilah apapun pasti indah pada waktunya. Bahagia itu akan hadir dengan sendirinya disaat kamu mau mencoba untuk mengerti dan ikhlas.”

Langkahku terasa ringan. Semua kata-kata Aisyah sungguh mengena di hati. Menyadarkanku untuk tidak berlebihan dalam sesuatu termasuk dalam mencintai. Kusadari satu hal, meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita miliki maka sudahlah jangan menangisi apa yang bukan milik kita. Andri yang selalu aku anggap sebagai 'valentine-ku' ternyata sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang terlihat tapi tak terjangkau. Suatu kebodohan bila aku menyesali bahwa Andri tak bisa aku miliki dan suatu kekeliruan bila harus menangisi orang yang bukan untukku. Aku tidak mau bila nantinya atas akal kita bertindak tapi hati yang menanggung akibatnya. Tak kusangka sosok yang tak terduga yang menjadi 'valentine-ku' ternyata Aisyah bukan Andri.
Ah, valentine, kamu memang bukan untukku.