Minggu, 06 Maret 2011

Cerpen ( by: Aiman Tashika-annida ) Sarajevo's Wombs and The Children of Torn....

Perkenalkan: Namaku Advija. Tanpa nama keluarga.
Kini,aku sedang dalam perjalanan ke sebuah desa,yang tidak ku kenal namanya,jaraknya hampir 100 mil dari perbatasan Bosnia-Herzegovina. Aku duduk di samping wanita berjilbab hijau pucat dengan kacamata minus yang setia menemani tahun-tahunnya belakangan. Dulu wanita itu, Bakira Hasecic- yang telah mengizinkanku memanggilnya 'Mom' sejak 17 tahun lalu- tidak menggunakan kacamata itu. Mungkin karena usia. Mungkin juga karena ia lupa memakan banyak wortel- padahal ia sangat tergila-gila membaca,sehingga matanya menjadi minus begitu.

Terlebih sewaktu ia bergabung dengan Bosnia's Branch of the Society of Threatened People and Medica, sebuah pusat krisis yang menawarkan dukungan bagi para perempuan yang memiliki bayi dari pemerkosaan. Dia tidak di haruskan membaca dokumen-dokumen yang terkait dengan sepak terjang organisasinya. Dia juga tidak pernah diwajibkan Fadilla Memisevic,pimpinannya, untuk melahap buku-buku yang terkait dengan isu-isu yang di usung komunitas barunya. Mom hanya orang yang inisiatif- dan orang-orang menyukainya karena itu. Termasuk aku.

Karena berhari-berminggu-berbulan mengamati daftar bacaannya, tumbuh rasa penasaran dari dalam diriku. Awalnya, Mom tidak mengizinkanku terlibat lebih jauh dengan teks-teks yang sedang dilahapnya. Pun ia pernah bercerita yang detail tentang pekerjaannya. 'Mom hanya ingin membantu orang,' itu katanya- yang hanya terdengar diplomatis ditelingaku.
Tapi,aku mewarisi sifat kegigihannya. Aku mendesaknya untuk membolehkanku turut membacanya. Bukan karena darahnya mengalir dalam darahku. Aku di didiknya. Di besarkannya. Dibentuknya. Maka aku terpengaruh.

Aku adalah anaknya,bagaimanapun teman-teman di sekolah dasar mengatakan itu sebuah kebohongan menyedihkan. Aku masih ingat ketika mereka, dengan mengejek, memanggilku 'pero', nama yang lazim dipakai orang serbia. Mereka diberitahu,entah oleh siapa,bahwa aku bukan anak Mom. Aku anak orang serbia. Bukan sarajevo. Aku anak penjajah. Aku anak yang tidak di inginkan. Umurku masih 8 tahun waktu itu- dan rasanya sakit. Di sini,di dekat jantung. Kalian tahu betul bagian apa itu namanya. Mom memelukku dan mendudukanku di pangkuannya. Aku sempat memberontak, meneriakinya pembohong. Aku menjerit, menangis, menunjuk-nunjuk perutnya sambil berkata, '' Mengapa Mom menipu aku ? Mom bilang Mom membawaku ke dunia ini dari sana! ''

Aku sudah lupa bagaimana caranya Mom menenangkanku. Aku histeris,setidaknya,selama empat hari. Tidak sekolah. Tidak mau makan,kecuali sedikit. Aku terus menanyakan siapa ayahku,siapa ibu kandungku dan nama keluarga yang harusnya aku berada didalamnya. Mom tidak pernah bisa menjawab. Dia merapatkan bibirnya dan memandangku,mendengarkanku tanpa menyela. Kala radang di hatiku sedikit demi sedikit mereda, Mom baru bicara. Ada satu kata-katanya yang tetap ku ingat hingga hari ini. Kata-kata yang selalu terngiang-ngiang di otak ku setiap kali aku berpikir lebih baik tidak pernah dilahirkan sama sekali.
Mom bilang, '' kalau kamu bukan anak kandung Mom,lalu kenapa?? Mom menyayangimu. Mom rela mengorbankan nyawa demimu. Tidakkah itu cukup membuatmu berhenti bersedih?''
Aku jelas takut kehilangan Mom. Dia satu-satunya orang yang terang-terangan pernah menyatakan mencintaiku. Sebenarnya karena itulah aku melibatkan diriku dalam perjalanan bersama Mom kali ini.

Namun,ketika aku mencoba jujur pada diri sendiri,aku mendapati pernyataan yang mencengangkan keluar dari dalam jiwaku. 'kau tidak melakukan ini semata demi Mom,katanya. Kau melakukan ini untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengganjal perasaanmu sejak lama.
Benarkah?? Tapi,haruskah aku mengajukan pertanyaan seperti itu pada batinku sendri? Ia adalah diriku. Suara tertulus dari diriku. Bagaimana mungkin aku meragukannya? Kurasa aku memang terlalu lama bersembunyi di balik topeng yang ku ciptakan sendiri. Aku sadar aku terganggu. Mungkin sesungguhnya aku benar-benar ingin tahu asal-usulku. Aku ingin lihat wajah ibu kandungku. Aku ingin tahu ayahku-lalu meludahinya,memakinya,atau mungkin memeluknya.

Perjalanan yang kami tempuh kali ini adalah bagian dari tugas Mom di organisasi barunya. Mom dan aku tengah menuju rumah salah seorang muslimah korban kebiadaban orang-orang Serbia. Dunia boleh jadi telah melupakannya,tapi disini: kami tidak punya pilihan selain hidup dalam bayang-bayang kelamnya.
Tahun-tahun yang dikenang sebagai pelanggaran kemanusiaan terburuk di Eropa pasca Perang Dunia II itu masih berbekas di hari-hari kami. Tentu saja,itu perkosaan. Mungkin bagi kalian,perkosaan tidak berarti lebih dari kata 'tragedi'. Tapi tidak bagi kami. Bukan hanya fisik yang cedera,namun mental seperti dicabut,ditarik kasar keluar dari kewarasan. Kalian mengernyit,aku duga. Darimana aku begitu tahu? Aku memang bukan korban perkosaan. Aku memang hanya bicara teori saja. Aku tidak tahu bagaimana perasaan para korban. Mom yang cerita.

Sudahkah aku cerita kalau Mom adalah korban perkosaan tentara Serbia juga?
Tapi ia termasuk yang langka. Dia bisa bertahan meski cerita buruk tidak hanya menimpanya,namun juga kakak perempuannya,yang tewas di kamp konsentrasi. Sudah kubilang ia wanita yang tangguh,bukan? Entah bagaimana ia melewati itu semua. Bahkan,tidak hanya melewati,Mom sekarang juga menjadi relawan yang membantu para korban perkosaan melewati memori buruk yang bergerak-gerak bersama album hidup mereka. Aku bergidik, terkadang, membayangkan apa yang sebenarnya terjadi selama masa dua setengah tahun konflik di negri ini, yang baru berakhir tahun 1995. Aku tidak sembarangan menggambarkan adegan-adegan kejam itu dalam diriku. Menurut catatan-catatan yang kubaca, setidaknya ada 20 ribu perempuan muslim yang didzalimi. Ditengarai, bahwa yang melakukan perbuatan setan itu memang para tentara serbia. Mereka melakukannya untuk strategi berperang. Serbia menjadikan perkosaan massal sebagai teror. Perempuan-perempuan itu diseret ke kamp konsentrasi, diperkosa berulang-ulang, sebagian dikembalikan ke suami mereka, sebagian dibunuh. Namun kebanyakan selamat terlebih para muslimah itu hamil. Jika mereka mengandung, para tentara itu akan menyekap mereka hingga hamil besar, lalu dilepaskan.

Menurut Alexandra Stiglmayer, editor Mass Rape: The War Againt Women in Bosnia-Herzegovina, terdapat pula tentara-tentara yang mendatangi rumah-rumah wanita itu dalam keadaan mabuk, menjebol pintu, memukul, menyundut dengan puntung rokok menyala, melukai dengan pisau, menuntut mereka tersenyum di tengah penyiksaan tersebut, dan diperkosa di depan suami-suami mereka.

Mantan kepala polisi Bosnia, Edhem godinjak, pernah mengatakan, ' perkosaan itu merupakan tindakan yang direncanakan. Para perempuan itu diperkosa supaya melahirkan anak-nak Serbia...'. Akibatnya, diperkirakan ratusan sampai ribuan bayi terlahir dari perkosaan. Hanya Allah yang tahu pasti beberapa jumlahnya.

Benar- Benar manusia-manusia setan.

Laporan UNICEF mendukung pernyataan Mom. Faktanya, bahkan lebih mengerikan: mereka dibunuh. Makhluk-makhluk yang lahir tanpa dosa itu dibunuh. Laporan itu juga menyebutkan bahwa jumlah bayi-bayi yang hidup tidak diketahui. Hal ini disebabkan keberadaan populasi tersebut cenderung disembunyikan dan diabaikan. Tidak semua bayi itu dibunuh memang. Banyak yang ditinggalkan di panti yatim piatu. Tanpa keterangan. Tanpa identitas. Tanpa kejelasan siapa ibunya,apalagi bapaknya. Itu terdengar seperti aku.

Sekarang, kalian tahu kenapa aku hanya bernama Advija. Itu pun ibu panti yang memberikan. Ibu kandungku tidak pernah memberiku nama. Mungkin juga ia tidak pernah melihatku seperti apa. Setelah lahir, mungkin saja dia langsung bangkit dari pembaringan, berlari keluar rumah sakit, menuju kegelapan malam, seraya mengatakan, '' Aku tidak pernah hamil !! Aku tidak pernah melahirkan bayi !! Aku bersih ! Aku tidak kotor ! TENTARA-TENTARA SETAN ITU TIDAK PERNAH MENJAMAHKU ! TIDAK PERNAAAAHH ! ''

Dan Mom memungutku. Oh, tidak. Mengadopsiku. Mom marah bila aku menyebut kata 'pungut'. Dia punya kecerdasan linguistik. Dia sangat terganggu dan suka dengan kata-kata. Dia selalu menemukan diksi dan kalimat yang bagus untuk pertanyaan-pertanyaanku.

'' Kita sudah sampai !''. Mom menunjuk sebuah rumah sederhana di depan kami. Mobil kami diparkir di lapangan kecil berumput. Aku keluar, melihat-lihat sekitar. Desa yang bagus. Jauh dari kebisingan. Sangat cocok untuk untuk menyembuhkan diri, kupikir.
" kau tidak harus ikut, Sayang. " Mom membenahi pakaiannya sedikit.

Belum sempat ku jawab, seorang perempuan tua keluar dari rumah yang kami tuju. Air mukanya payah. Tidak bersemangat. Dia menghadap Mom dengan terlebih dahulu mengucapkan salam. Mom dan aku menjawab, lalu menghabiskan waktu mendengarkan celotehan kerisauannya.
Kata-kata 'jangan masuk' , 'bukan ini saatnya', 'mungkin bulan depan', 'atau tidak usah saja', 'ini kesepakatan yang buruk', 'dia sudah lebih baik', 'jangan ganggu dia', 'dia tidak akan sembuh', 'dia tidak harus mengingat-ngingat lagi semua itu', dan 'lagipula ini hari ulang tahunnya' kudengar bermuntahan dari mulut keriputnya.
" Tapi anda mengizinkanku datang hari hni. Perjalanan kami tidak sebentar," Mom berusaha melobi. Perempuan berjilbab merah gelap menatap gamang. Dia menggeleng sekali lagi. Mom melihatku, memberi tatapan 'Mungkin kita datang hanya untuk kembali pulang'. Aku tidak suka kemungkinan itu. Bukan karena lelah. Tapi, menurutku, wanita di dalam, siapapun ia, bagaimanapun ia, sesakit apapun ia, tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihannya. Terdengar sok tahu dan dingin memang. Tapi, perempuan itu salah kalau ia berpikir bahwa dirinya saja yang paling menderita dengan semua ini.

Aku misalnya. Sebagai anak hasil perkosaan, dibuang saja sudah sangat menyakitkan. Apalagi menerima kenyataan bahwa orangtuaku, mungkin seperti wanita di dalam, tidak mau sembuh, tidak mau memperbaiki kesalahan, dan bersikeras itu bukan kesalahan.
Bagaimana mungkin kau menganggap membuang bayi yang kau lahirkan adalah satu-satunya cara untuk sembuh dari trauma perkosaan? Bukankah itu sama saja mengatakan bahwa berbuat dosa adalah jalan keluar dari hasil dosa orang lain? Bodoh. Egois. Jika kau menemukan dua kata pengganti yang lebih tepat dari itu, katakan padaku. Aku sangat ingin tahu.

Mom mengajak perempuan tua ini untuk tenang, dan mulai menjelaskan kenapa sebaiknya pertemuan kali ini tetap diadakan. Dia sangat gigih, kalian sudah tahu itu. Akhirnya Mom berhasil. Setelah, kurang lebih, sepuluh menit- aku tak yakin- kami di izinkan masuk.

Rumah itu dari kayu. Perabotan-perabotannya sederhana. Langit-langitnya dibuat tinggi hingga di dalam terasa penuh dengan udara. Ada bangku-bangku yang busanya tercabik. Ada meja dengan vas kecil berbunga kertas. Tidak banyak ruang bergerak. Mataku langsung menubruk dinding-dinding, atau pintu-pintu. Di sana, kata wanita senja itu menunjuk kamar bergagang besi yang sudah berkarat, adalah kamarnya.
Mom mengangguk dan berdoa. Jantungku berdegub. Aku tahu ini pilihanku, tapi jujur aku berpikir untuk kembali ke mobil kami.

Mom menatapku dengan yakin, mengajakku masuk. Sementara kami berjalan, aku dapat merasakan betapa cemas wanita yang mengizinkan kami masuk. Sebelumnya, ia telah meminta anaknya- aku dengar sedikit pembicaraan Mom dan dirinya- untuk membiarkan kami menemuinya. Ibunya mempromosikan kami sebagai 'tenaga psikolog' yang datang membantu menghilangkan trauma. Tapi, ia sendiri nampak tidak yakin dengan ide itu. Entah kami yang tidak terlihat meyakinkan atau semata ia menyadari sudah belasan tahun berlalu tanpa kesembuhan. Saat Mom dan aku tiba di depan pintu, seketika aku langsung tahu kalau kami, sebenarnya, tidak di izinkan masuk.
" MAU APA KALIAN ? PERGI !! " daun pintu terbuka lebar dari dalam. Satu wajah mengancam dengan raut acak-acakan menyambutku, memelototiku dengan mata yang nyaris keluar.

Mom tidak merespon langsung. Tanpa sadar, langkahku surut. Apakah wanita itu sudah gila? Hatiku mencelos melihat keadaannya yang berantakan. Dia tampak tua. Aneh- padahal tadi aku mendengar ini hari ulang tahunnya yang ke 39. Rambutnya panjang beruban. Kulit mukanya lusuh, berkerut. Dia seperti adik perempuan tua itu. Dia seperti tidak terurus- atau tidak mau di urus. Nampak tidak ramah pada semua orang.

Kami dibentak pertama. Ibunya dibentak berikutnya. Urat-urat lehernya terlihat ketika ia menjerit. " MENGAPA KAU BIARKAN MEREKA MASUK KESINI? " Aku melihat ibu muslimah itu menangis tergugu. Menutup wajah tuanya dengan tangannya yang ringkih. Aku ingin maju menampar mulutnya,tapi Mom menahan. Kepalanya menggeleng pelan.
" Me-mereka datang untuk menolongmu, Esma," perempuan senja itu sesegukan, " Ibu ingin- kau- sembuh..."
" BILANG ITU PADA LELAKI BANG**T YANG TELAH....YANG TELAH...HAH! KAU MENGINGATKANKU LAGI PADANYA, PEREMPUAN TUA! APA SALAHKU?! TIDAK BISAKAH KALIAN MEMBIARKANKU HIDUP TENANG? TIDAK BISAKAH KALIAN MELIHATKU BAHAGIA? APA MAU KALIAN?? KALIAN SAMA SAJA DENGAN SETAN-SETAN ITU! KALIAN SETAN!!!"

Esma meraung, mengambil apa pun yang bisa diambilnya, dan melemparnya ke arah ibunya dan kami. Mom berkelit. Aku menunduk dan berlari ke belakang bangku. Ibu Esma tidak bergerak dan membiarkan dahinya terluka ditimpuk vas berbunga kertas. Mom dengan gesit memeluk Esma, tapi Esma tidak kalah kuat. Dia membuyarkan lingkaran tangan yang membelenggunya dengan sekali gerakan membongkar dan bergemuruh keras-keras. Esma berbalik, dan menghantam Mom dengan tangan kosong. Mom tidak menyangka pukulan itu melayang ke wajahnya. Kacamatanya terlempar. Dia jatuh ke lantai, meludah berwarna merah. Aku bangkit. Aku tidak akan membiarkan Mom disakiti. Aku menerjang Esma dari belakang. Wanita itu jatuh berdebum, menelungkup. Mom langsung membantuku. Ibu Esma masih tergugu. Kami berteriak-teriak meminta bantuannya,tapi ia masih larut dalam kesedihan. Sapu tangannya basah. Lengkingan suara Esma terdengar lagi. Nyaris putus.

Kami sepakat harus kerumah sakit. Mom terluka cakar ditangan. Gusinya berdarah,sobek. Lensa kacamatanya retak. Aku sedikit luka di bagian dengkul.
" Mom pikir dia sudah bisa diajak bicara. Perkembangannya bagus beberapa minggu sebelum kesana."
Dari Mom, aku tahu bahwa ibu Esma yang memintanya datang. Awalnya dimulai dari berhasilnya Mom menemukan satu anak yang diduga anak Esma. Aku belum pernah ditunjukan fotonya, tapi Mom bilang namanya Edin. Ibunya Esma sangat senang dan ingin bertemu anak itu. Tapi, Mom datang untuk mengecek kesehatan jiwa Esma. Tugas Mom memang seabrek di organisasi barunya. Bukan ditugaskan, tapi inisiatif.

Esma adalah kasus kedua. Sebelumnya, ia telah berhasil mempersatukan seorang wanita bernama Safeta dan anaknya, Seada. Mom sangat puas dan mencari kehangatan yang sama di dadanya pada kasus-kasus yang lain.
" Syukurlah kita tidak jadi mengajak Edin, Mom. Bagaimana kalau ia melihat reaksi ibunya? Dia pasti akan sangat sedih," kataku sambil mengamati perban yang melingkari tangan Mom. Mom menunduk, tampak tercenung.
" Edin tinggal dimana, Mom?"
" Di-di panti."
" Kapan kita menjenguknya? Aku tidak sabar ingin menyemangatinya."
" Kau benar-benar serius dengan semua ini, sayang?"
" Tentu saja, Mom. Mom pikir aku tidak serius?"
" Mom hanya takut bila suatu saat kau bertemu ibumu, kau akan terluka."
" Asal Mom disisiku, aku tidak apa-apa."

Mata Mom berlinang. Aku tidak sanggup melihatnya begitu. Aku terus menduga-duga apa yang berkecambuk didalam pikirannya sehingga ia memelukku erat di lobi rumah sakit. Aku bertanya ada apa,tapi Mom malah meminta maaf atas kebohongannya selama ini.
Akhirnya, setelah hembusan panjang nafasnya yang terdengar begitu berat, ia berkata, namaku sebenarnya adalah Edin.