Kamis, 15 Desember 2011

cinta yang salah


Cinta yang salah
Entah berapa ratus kali jus alpukat itu teraduk-aduk oleh sendok di tangan Sani. Kalau sendok dan jus itu bisa berbicara, pasti sudah sejak tadi mereka berteriak memprotes Sani.
Kejujuran memang sangat mahal, bahkan Sani nggak bisa nerima kejujuran yang terlontar dari sahabat tersayangnya itu.
Sani mengusap kaca jendela yang berembun, memandangi hujan yang sudah kembali turun. Perasaan dan pikirannya kacau.

Masih terngiang dengan jelas di telinga Sani tentang kejujuran dari sahabat tersayangnya.
" Aku cuma berusaha jujur walaupun menyakitkan. Walaupun aku tidak tahu kamu masih bisa nerima aku sebagai sahabatmu atau tidak. "
Sani diam, tampak kacau.
" Aku jatuh cinta, San... Tolong mengerti aku ".
Sani tetap terdiam. Sani menarik nafas lirih mencoba menenangkan hati yang bergemuruh.
" Maafin aku, San..... Maafin karena....aku... Aku mencintai kamu."
Hati Sani semakin bergemuruh antara rasa sakit dan marah yang bercampur menjadi satu. Berubah menjadi rasa pilu yang tak tertera.
" Aku sayang kamu...."
" Aku juga sayang kamu...." jawab Sani cepat.
" Tapi rasa sayang yang aku rasakan itu berbeda !! Bukan rasa sayang seperti yang kamu rasakan sekarang ." Irsa menatap Sani dengan perasaan bersalah.
" Memangnya rasa sayang seperti apa yang kamu rasakan ?" tanya Sani, dingin.
" Tidakah kamu mengerti ???"
" Hal apa yang harus aku mengerti..???" jawab Sani cepat, ada nada emosi yang keluar dari nadanya.
" Sikap dan perhatian yang selama ini aku berikan dan kasih sayang yang aku curahkan. Kamu tidak merasakan hal yang berbeda ???"
" Aku tidak butuh rasa sayang yang seperti itu. Yang aku butuhkan adalah penyangkalan dari kamu kalau semua yang kamu ucapkan itu adalah candaan nggak jelasmu."
" Karena inilah aku. Menyangkal pun percuma..... Karena beginilah aku. Maaf kalau aku mengecewakanmu."
Sani terdiam nggak bisa berkata-kata lagi. Lalu beranjak pergi meninggalkan Irsa.

Sani terhanyut dalam lamunannya. Pandangannya menatap keluar jendela. Hujan turun dengan derasnya, seolah mengerti kalau hatinya sedang dirundung mendung.

Kebanyakan orang memandang sesuatu yang menyimpang itu merupakan hal yang tabu. Hal yang harus dijauhi. Hal yang merupakan dosa besar. Sedangkan sebagian orang yang memandang hal itu merupakan penyakit yang nggak ada obatnya di dunia ini. Penyakit hati yang seharusnya tak layak ada. Mungkin hanya sedikit orang yang menilai sesuatu yang menyimpang itu hanyalah hal aneh yang perlu pemakluman lebih untuk mengerti bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, tidak ada suatu kelebihan tanpa adanya kekurangan ataupun sebaliknya. Walaupun begitu, tetap saja pemakluman yang dirasa hanyalah sebatas pemikiran saja. Kenyataannya celaan ataupun tatapan risih saja menjadi tindakan yang kerap kali dilakukan.

Sani tidak bisa membayangkan bila hal itu terjadi pada Irsa, sahabat tersayangnya. Sahabat yang sedari kelas satu SMU itu selalu berada di sampingnya. Sahabat dalam tawa, dalam sedih dan dalam berbagi cerita.
Tiga tahun bersama Irsa, tak sedikit pun terlintas di benak Sani kalau Irsa lesbi!
Tiga tahun itu ternyata Sani sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentangnya. Tentang perasaannya yang bagi Sani tak ada tempat.
Apakah ini dampak dari keluarganya yang bercerai dan kekerasan yang diterimanya di awal tahun kehidupannya?
" Aku yakin dan aku tidak akan menyesali dengan apa yang terjadi padaku." ucap Irsa kala.
" walaupun semua orang akan mengucilkanmu dan memandang sebelah mata seolah keberadaanmu tak di anggap ?" Sani mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan nada sedikit emosi. Bagaimana tidak, Sani khawatir dengan sikap keras kepalanya itu yang tidak memperdulikan perlakuan orang-orang terhadapnya. Mayoritas orang berpendapat, seseorang yang memiliki kelainan seperti memiliki perasaan terhadap sesama merupakan orang yang tidak bisa menerima kodrat yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
" Setiap orang pasti ingin memiliki kehidupan yang normal. Menjalani hidup dengan tenang tanpa harus dibayangi perasaan takut yang harus disembunyikan rapat terhadap orang-orang. Begitu juga denganku. Aku tidak ingin seperti ini, tak ingin memiliki perasaan lain yang mrnyimpang seperti ini juga. Namun aku sendiri tidak bisa menentang hidupku seperti ini, tidak menentang hidupku seperti ini, tidak bisa mencegah perasaanku yang tak selayaknya ada. Semakin aku menghilangkan perasaan ini justru semakin kuat perasaan ini tumbuh apakah aku salah mempunyai perasaan seperti ini ?"
Sani menatap Irsa. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya.
" Memiliki cinta bukanlah suatu kesalahan. Merasakan cinta buat seseorang juga tidaklah keliru. Tapi apakah kamu sadar dengan perasaan cinta yang kamu miliki ? Cinta itu seharusnya tak ada dan tak boleh tumbuh di hati kamu..."
" Aku nggak minta kamu membalas cintaku. Aku tahu, kamu cewek biasa yang ingin mencintai dan dicintai oleh cowok. Nggak seperti aku."
Sani menatap Irsa sesaat lalu membuang pandangannya jauh-jauh.
" Aku ada kelas sekarang."
Sani beranjak dari tempat duduknya.
" Aku antar,"
" Nggak usah." tolak Sani dan segera berlalu meninggalkan Irsa.

Sani enggak tahu harus gimana. Sani nggak mau kehilangan sahabat seperti Irsa, tapi Sani takut kalau lama-lama ada perasaan benci atau mungkin perasaan jijik. Tapi haruskah aku menghindari Sani?
Sani menarik nafas panjang. Biarlah semuanya seperti ini dulu. Semua memang perlu waktu...termasuk Sanu dan Irsa.   

episode yang bikin gondok


Ini ceritaku. Cerita yang membuatku bertanya-tanya sampai detik ini. Entah karena sedang melamun atau apa yang jelas cerita yang nggak jelas ini membuatku nggak mengerti. Aku kurang percaya pada takhayul apalagi yang berkenaan dengan sesuatu yang mistis atau hal yang seram-seram. Nonsense.
Sampai kejadian ini terjadi, aku bertanya-tanya dan pikiranku berubah tentang hal-hal yang diluar akal manusia.

Kejadiannya beberapa hari yang lalu. Aku baru beres menyelesaikan pekerjaanku tepat pukul 18.00 petang. Harusnya aku pulang lebih awal dari jam tersebut, tapi karena pekerjaanku yang menumpuk yang mengharuskan aku overtime untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.

Petang itu, setelah membereskan pekerjaanku membuat laporan hasil kerjaan para karyawan, aku langsung beranjak keluar ruangan, setelah membereskan meja kerjaku tentunya. Karena berkutat seharian dengan pekerjaan, membuat perutku tidak bisa diajak kompromi- lapar akut. Maka, usai kerja aku tidak langsung pulang melainkan mampir dulu ke kantin belakang untuk memuaskan hasrat cacing diperutku yang kelaparan. Aku memilih kantin yang letaknya tak jauh dari parkiran, tempat aku memarkirkan motorku. Agar selesai makan aku tak perlu berjalan jauh mengambil motorku.
" Emot, mau langsung pulang?" tanya Teh Ema, rekan kerjaku.
Sedikit pemberitahuan. Di tempat kerja jarang yang memanggil aku dengan nama asli ku. Kebanyakan dari mereka memanggilku 'emot' karena otakku yang terkadang lemot. Atau sekedar ikut-ikutan teman yang lain karena lebih enjoy memanggil emot atau karena tidak tahu namaku? Entahlah....
" Nggak, Teh... Mau mampir dulu ke kantin. Perut laper, nggak kuat." jawabku seraya melangkah ke ruang kantin.
Setelah memesan makanan, aku langsung memilih meja yang terdapat segerombolan makhluk yang bernasib sama denganku. Korban kelaparan karena overtime.
" Tumben lu makan jam segini? Biasanya juga langsung pulang." tanya Inay, heran melihatku makan di kantin jam pulang.
" Cacing di perut gue susah di ajak kompromi. Laper." jawabku seraya melahap hidangan yang tersedia dimeja.
" Bukan karena 'bad-mood' didatangin mimpi buruk, kan.?" timpalnya, berlagak menggoda.
Aku mengkerutkan kening, kurang mengerti dengan ucapan Inay.
" Ntuuuu... Di status facebook. ' i'm in bad-mood' gara-gara mimpi semalem." ocehnya lagi.
Aku tersenyum mesem setelah 'ngeh' maksud ucapan Inay.
" Ah... Gue tahu. Lu mimpi mesum, ya.?" timpalnya lagi yang membuatku tersedak makanan.
" Sarap lu. Bukan. Gue mimpi mantan gue mesra-mesraan sama cewek lain di depan gue. Sumpah lo... gara-gara itu mimpi bikin gue bete seharian."
Inay tertawa terkekeh, sedangkan aku sok berlagak cemberut.
Ketika asyik menyantap makanan, tiba-tiba saku depan celanaku bergetar. Ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Kurogoh saku lalu ku tekan keypad ponsel membuka pesan. Ah, pesan dari Teh Ema.
" Mot, dah plg blm?
Dengan lancar jari-jari menekan keypad , membalas sms.
" Blm, Teh Ema. Ak msh dkntin. Teh Ema dmn? Mo plg breng?" tanyaku lewat sms.
Tak lama balasan sms pun kembali bergetar.
" Ak msh d mshla. Iy?, tngguin ya."
Aku bergegas menyelesaikan makanku. Lalu beranjak dari kursi dan menangkan keluar menuju parkiran. Artinya di parkiran, aku langsung menstater motor dan membiarkannya menyala beberapa menit menunggu mesin panas.
" Mot...!" panggil seseorang dari belakang.
Aku menoleh ke arah suara. Itu Teh Ema. Dia baru keluar dari mushola.
" Aku mau ke ruang loker dulu, ya. Sebentar kok..." ujarnya. Aku mengangguk seraya tersenyum dan memperhatikan Teh Ema yang berjalan memasuki ruang loker yang letaknya tak jauh dari parkiran.
Seraya menunggu, aku duduk di motor yang sengaja aku panasin dengan membiarkannya menyala.

Lama aku terdiam menunggu. 5 menit.....10 menit tapi Teh Ema belum juga keluar dari ruang loker.
" Lama banget, sih. " pikirku kesal ditambah parkiran yang sepi.
Aku beranjak dari motor dan berjalan menuju ruang loker, menyusul Teh Ema.
Aku terdiam terpaku ketika kudapati tidak ada seorangpun di ruang loker. Aku celingak-celinguk, mataku mengedarkan ke seluruh ruangan loker tapi tidak ada sosok Teh Ema.
" Kemana dia...?"gumanku lirih.
Aku merogoh saku celana, mengambil ponselku.
" Teh Ema dmn?" tanyaku lewat sms.
Mataku kembali mengedarkan keseluruh ruangan loker. Tetap tidak ada. Aneh.
Episode yang bikin gondok

Aneh. Kok bisa, ya?. Padahal aku lihat sendiri dia masuk ke ruang ini, bahkan sampei 10 menit berlalu aku menunggu, aku tidak melihat dia keluar. Tapi kenapa nggak ada ? Atau dia udah keluar dan pulang duluan tanpa aku sadari ? Tapi itu tidak mungkin. Teh Ema sholat di mushola belakang yang berada dekat parkiran dan loker. Kalaupun keluar pasti melewati area parkir tempat aku berada. Tapi kenyataannya tidak ada. Dalam keheranan aku terhenyak kaget ketika ponselku berdering yang disertai getar. Ada pesan dari Teh Ema.
" Ak dah ddpn pntu receiving." pesan singkat Teh Ema.
Hahh !!! Kok bisa ??? Pintu receiving kan di depan, dekat pintu keluar, kapan Teh Ema ngelewatnya ???
" Braaakkk...!!!"
Jantungku serasa copot karena kaget ada suara yang jatuh. Suara bersumber dari dalam ruang loker.
Aku melihat kembali ke ruang loker. Tak ada satu pun benda jatuh, tapi kenapa suara itu terdengar jelas ?

Tanpa pikir panjang aku langsung kembali ke parkiran dan langsung menaiki motorku. Dan ketika hendak melaju, ujung mataku menangkap sosok putih di pojok parkiran.
Sedikit terhenyak kontan aku menoleh ke pojok parkiran . Tapi tidak ada sosok putih yang terlihat oleh ujung mataku itu. Tiba-tiba perasaanku mendadak tidak enak. Ditambah bulu kudukku yang berdiri.
Belum aku melajukan motorku, tiba-tiba aku mendengar suara cewek menangis sesaat kemudian tangisan itu berubah jadi suara tawa. Bulu kudukku semakin berdiri.
Hahh ??? Apa itu...???
Dengan perasaan takut aku mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Dan...
" Hahh...?? Astaga...!!!

Mataku terbelalak ketika melihat sesosok cewek dengan rambut tergerai panjang. Suara tangisannya membuat seluruh perbuluan di tubuhku pada berdiri.
Cewek itu sesaat menangis, lalu tertawa cekikikan dengan kepala tertunduk dan rambut tergerai ke depan.
Tubuhku mendadak kaku nggak bisa bergerak. Untuk menggerakkan tangan sekedar menarik gas pun nggak bisa. Rasa takutku semakin menjadi ketika sosok cewek itu berhenti menangis lalu kepalanya perlahan bergerak dan menatap ke arahku.

Aku panik bercampur rasa takut yang amat sangat. Kulihat sosok makhluk itu. Hahh... Dia tetap menatapku, kali ini wajahnya terlihat jelas, muka putih pucat dengan dengan kantung mata yang hitam dan...., astaga !!!! Bola matanya putih semua.
Tubuhku tetap merasa kaku, tak bisa bergerak. Dan..., Hahh ?!! Jantungku berdegub kencang sekali ketika kulihat sosok itu berjalan perlahan dengan kaki terseok-seok, ke arahku.
Aku panik, bukan-tapi takut. Sekuat tenaga aku berusaha menarik gas motor. Tapi tubuhku benar-benar terasa kaku.
Cewek itu terus melangkah terseok ke arahku. Wajahnya tertunduk dengan rambut terurai ke depan tapi.... Matanya tajam melihat padaku.
Astaga..!!! Ingin aku teriak tapi nggak bisa. Suaramu nggak keluar.
Aku terus melihat cewek itu, semakin mendekat.... Mendekat...wajahnya semakin terlihat jelas. Dia menyeringai ke arahku.
' ya Allah tolong..,' dalam hati aku terus menyebut nama-Nya dengan memejamkan mata.

Suasana tiba-tiba hening. Mataku tetap terpejam. Tak ada suara langkah yang terseok ataupun suara tangis dan tawa. Sudah pergikah dia??? Kurasakan tangan dan tubuhku bergetar hebat saking takutnya.
Tetap hening ku dengar. Perlahan aku mencoba membuka mata...perlahan aku sedikit memicingkan mata melihat ke arah makhluk tadi mendekat. Tidak ada.
Aku memberanikan diri membuka mata Lebar-lebar. Dan...,
"Aaaaaaaarrrrrrggggg...."
Makhluk itu sudah berada di depanku , jaraknya tak jauh dari wajahku. Aku menangis saking takutnya. Wajah mahkluk itu benar-benar mengerikan. Wajahnya keriput seperti lilin yang meleleh. Kantong mata yang hitam dan bola mata putih semua serta mulutnya menyeringai lebar.
' Astagfirullah....Astagfirullah....'
Dengan tubuh bergetar pandanganku kabur. Dan selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi.

Ketika aku tersadar, aku sudah berada di kamar rumahku dengan mama yang tengah duduk disamping seraya membelai rambutku.
Menurut cerita, aku ditemukan oleh Teh Ema yang sedang menungguku saat itu serta sekuriti yang tengah bertugas.
Seumur hidup aku, baru kali ini aku mengalami kejadian mistis seperti tadi malam. Hal yang aku anggap takhayul pun mau nggak mau memaksaku untuk mempercayainya.
Baru kali ini aku mengalami episode yang bikin gondok.
Gondok karena harus melihat penampakan.

andai dia tahu


Andai dia tahu...

Namanya Ramdhani. Biasa ku panggil Dhani. Teman satu kelas yang selalu eksis di dunia hiburan bidang kabaret. Orangnya supel, baik, kocak dan terkesan cuek. Sifat kocaknya itu yang aku suka darinya, satu tahun ini tanpa dia sadari.
Seusai kelas Dhani tak pernah absen latihan kabaret. Pentas dari panggung ke panggung, mulai dari pementasan di sekolah-sekolah, kampus-kampus bahkan tampil di hotel berbintang. Tak pernah ada kata lelah ataupun mengeluh menjalaninya. Bahkan dengan penuh tawa dia berujar...
" gw ingin jadi pemain profesional jadi apapun yang merintangi pantang menyerah..." ucapnya saat itu dengan binar dimata penuh obsesi.
" cewek mah nomer sekian" ujarnya lagi. Aku tersenyum kecut mendengarnya.
Aaaaahhhh... Andai dia tahu.

Aku memendam perasaan terhadap Dhani hampir setahun ini. Bukan karena tidak barani mengungkapkan atau tidak ada pengakuan sedikitpun tapi karena kesempatan yang kurang berpihak padaku. Nasib-nasib hehehe....
Masih ku ingat waktu awal bertemu dengan Dhani, bukan- tapi awal mengenal Dhani. Tepatnya satu tahun yang lalu sewaktu tahun ajaran baru tingkat dua. ahh... Aku tertawa sendiri mengingatnya. Kejadian konyol yang yang membawaku mengenal apa artinya cinta.

Setahun uang lalu.....

" aaaarrrgggghhh... " aku berteriak histeris ketika bangun waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. Tanpa komando aku langsung berlari ke kamar mandi dan mengguyur badanku sekenanya Lalu bergegas memakai seragam dan bermake-up secukupnya. Menjadwal mata pelajaran kemudian dengan tergesa pamit berangkat ke sekolah- tanpa sarapan.

Setibanya di halte aku sengaja langsung menaiki angkot yang terlihat sudah ada beberapa penumpang,berharap si supir angkot tidak terlalu lama ngetem,toh penumpang sudah lumayan banyak. Tapi ternyata tidak tujuh menit sudah berlalu tapi angkot belum juga beranjak jalan. Bukan cuma aku yang menggerutu kesal, tapi penumpang yang lainnya juga sama. Kulirik jam tanganku, rasa gelisah semakin menguasaiku.
" bang, mau berangkat engga ? Lama bener, udah siang neh...!" teriakku pada supir angkot.
" iya bang... Telat neh!" ujar penumpang yang lain menimpali.
" bentar lagi... Nunggu penumpang di angkot penuh" jawab si supir angkot, enteng.
" sambil jalan juga bisa nyari penumpang, kan? Ngerti sedikit dong Bang, kita udah telat" sahutku lagi agak sewot mendengar ucapan si supir angkot.
Entah apa yang di ucapkan si supir angkot, sekilas dia terlihat ngomel-ngomel seraya menjalankan mobilnya meskipun perlahan.
Semua penumpang merasa lega, termasuk aku. ' aahh... Akhirnya berangkat juga ini angkot' pikirku senang.
Tapi rasa senangku seketika hilang karena angkot yang baru berjalan beberapa meter ini tiba-tiba berhenti kemudian melaju mundur kebelakang, berhenti ditempat semula. Semua penumpang melongo.
" Bang, niat berangkat enggak sih...? Malah balik mundur lagi. Kita susah pada telat..!!!" omelku ketus.
Si supir kembali ngomel-ngomel dan melajukan kembali angkotnya - perlahan. Dan lagi-lagi baru beberapa meter angkot melaju, si supir kembali bertingkah dengan tiba-tiba menghentikan laju angkot kemudian balik mundur lagi ke tempat semula.
" abang lupa belum ngopi. Santai saja sambil nunggu penumpang penuh " ucapnya enteng seraya keluar dari angkot.
" Whaatttt....!!!!" pekikku keras. Emosiku benar-benar tak terbendung lagi. Bagaimana tidak, pagi-pagi bangun kesiangan terus enggak sarapan karena telat berangkat ke sekolah dan sekarang si supir angkotnya malah bertingkah. Aku benar-benar kesal.
Dengan emosi yang menumpuk di kepala, aku beranjak keluar dari angkot dan melangkah menuju kursi depan mobil angkot. Dengan modal nekat aku mengambil alih kemudi.
' it's show time hahaha...' tawaku penuh kesal.
" mau ngapain, neng...??" tanya salah satu penumpang.
" lu pikir gw mau ngapain? Mandi?" Jawabku ketus.
Ku starter mobil lalu overgear.
" gw ambil alih ini angkot. Tenang saja, gw pernah kursus nyetir mobil walaupun enggak lulus gara-gara nabrak benteng..."
Raut muka penumpang langsung pucat pasi mendengar ocehanku. Shock, mungkin. Tapi aku enggak perduli, yang ada di otakku sekarang bagaimana bisa sampai di sekolah tepat waktu.
" let's gooooo...." teriakku seraya menginjak pedal gas.
Ku dengar teriakan para penumpang dibelakangku.

Aku melajukan mobil angkot ini dengan kecepatan agak tinggi. Kulirik kaca spion melihat kebelakang, terlihat c abang supir teriak-teriak seraya berlari mengejar angkotnya yang aku bajak. Ya, pembajakan angkot. Kalau ditanya apa yang ada di otakku hingga membuatku sampai nekad membajak angkot ini...?? 'tepat waktu ', mungkin dua kata itu yang membawaku pada kenekatan ini. Kulirik jam tangan. Lima belas menit lagi jam bel masuk berbunyi. Sedangkan rute Pasirkoja-Pasirkaliki biasanya ditempuh dalam waktu sekitar lima belas menit , kini aku targetkan harus ditempuh dalam waktu sepuluh menit, sehingga masih ada sisa waktu lima menit dari jam masuk untuk membebaskan aku dari kata 'hukuman'.
Aku terus melarikan angkotnya dengan kecepatan tinggi. Suasana jalan yang tidak terlalu padat memudahkan aku untuk ver-on the road ria tanpa hambatan. Tak aku gubris ocehan para penumpang yang memprotes atau pun yang mendukung kenekatan aku ini.
" Neng.... Berhenti !!! Jantung bapak bisa copot kalau angkotnya ngebut begini. Bapak masih sayang nyawa. Kasihan tiga wanita dirumah bisa jadi janda..." teriak seorang bapak yang jadi salah satu penumpang angkot ini.
Tapi tidak aku gubris.
" Gaaassss teruuusss, neng. Majuuuuu...!!" timpal penumpang lain yang 'exited' dengan kenekatanku.
Tetap tak aku gubris.
" Neng, tolong pelanin sebentar angkotnya, nenek mau apdet status dulu..."
Hah?? Aku melirik kaca spion depan. Kulihat si nenek asyik memainkan hp.
" In eksen. Kayak di pilem fes tu ferius en sher..."
Aaaahh... Fast to furious kali, nek.
" Sini giliran kakek apdet status...dari menikah berubah menjadi lajang.."
Si nenek langsung manyun dan ngomel-ngomel.
Aaahh... Ada-ada saja.
Aku terus melajukan angkotnya. Tinggal beberapa meter ke depan sekolahanku terlihat.
" Woooyy... Neng berhenti !!! Itu angkot gue mau lu bawa kemana ??" teriak seseorang dari samping. Aku kaget melihat si abang supir yang angkotnya aku bajak ini sudah menyusulku numpang angkot lain.
" Mau gue bawa ke sekolah di depan sono, noh. Sabar ya, Bang !!" aku balik berteriak.
" Bahaya, neng... Berhenti!!!"
Akhirnya aku tiba di depan gerbang sekolahku. Tepat sepuluh menit parjalanan. Aku keluar dari mobil angkot yang disambut dengan muka garang si abang supir yang sudah berdiri dihadapanku. Matanya melotot tajam seolah-olah ingin menelanku hidup-hidup. Tangannya berkacak pinggang.
" Hehehehehe...." aku cuma bisa cengengesan menanggapi muka garangnya.
" Dasar lu ye, dikiranya kagak bahaya bawa mobil angkot orang ngebut-ngebut ? Lu pikir ini pilem eksen sampe nekad ngebajak angkot ? Bla.....bla....bla..."
Ttuuuuuuuutttt.......
Aku menanggapi omelan si abang supir dengan muka cengengesan yang di akhiri permintaan maaf dariku.

Setengah berlari aku memasuki area sekolah. Kalau aku pikir, sekali dalam seumur hidup baru kali ini aku membajak angkot. Kalau bukan karena si abang angkot yang ngeselin enggak bakalan aku senekat itu. Jadi kalau kata pepatah mah 'jangan salahkan bunda mengandung tapi salahkan si supir angkot yang bertingkah'. Uupsss... Hihihi.... Pepatah ngasal.
Aku melenggang dikoridor melewati kelas demi kelas. Samar dibelakangku terdengar suara cekikikan. Suara tawa. Aku menoleh ke belakang. Tampak dua makhluk aneh yang tengah cekikikan menahan tawa. Makhluk yang satu terlihat tinggi, gagah kulit putih dan untuk ukuran makhluk sebangsa dia termasuk cakep tapi sayang otaknya agak konslet- kurang se-ons mungkin. Makhluk itu bernama Nuno- sahabat karibku. Sedangkan makhluk yang satunya lagi- aku tidak tahu. Dia manis, tinggi dan tampak karismatik. Baru kali ini lihat dia. Teman sekelas Nuno kah ??
" Ngapain lu berdua ketawa cekikikan ??" tanyaku heran.
Bukannya menjawab pertanyaanku, tawa mereka malah makin keras. Parahnya si Nuno malah ngakak sambil nunjuk-nunjuk muka aku. Eehh ?? Ada yang salah sama muka aku ??
" Lu berdua ngetawain gue, ya ?"
Nuno agak meredakan tawanya lalu menghampiriku seraya menepuk-nepuk pundak.
" Hebat !! Gue salut sama lu. Demi datang tepat waktu ke sekolah lu sampe nekat ngebajak angkot hahaha...."
Aku mendengus mendengar ucapan Nuno.
" Terus diomelin sama tu si supir angkot lu malah cengengesan. Benar-benar konslet ya otak lu..." timpalnya lagi.
" Lu berdua tahu darimana ?" tanyaku tanpa ekspresi.
" Gue sama Dhani lihat semuanya di depan gerbang tadi " jawabnya dengan mengangkat-ngangkat kedua alisnya, sok genit kemudian tertawa ngakak lagi.
" Seneng lu ye lihat teman susah...!"
Mereka berdua tetap saja tertawa. Aku melirik pada cowok yang berada disamping Nuno.
" Lu siapa ? Ikut-ikutan tertawa lagi. Enggak lucu tahu !!" ucapku sewot.
Dia meredakan tawanya lalu menghampiriku seraya mengulurkan tangan.
" Gue Ramdhani. Panggil saja Dhani. Gue teman sekelas Nuno "
Aku melengos tanpa menghiraukan uluran tangan dia.
" Jangan hiraukan sikap dia. Kalau lagi bete bawaannya suka sensi " kata Nuno yang di iyakan oleh Dhani.
" Karena pengaruh pembajakan angkot yang dia lakukan atau karena omelannya si supir angkot ya ?"
Aku menutup telinga dan tak menghiraukan semua ocehan dua makhluk yang berada dibelakangku.

******

Aku menyantap makanan yang ada di hadapanku dengan lahapnya seperti orang yang berbulan-bulan enggak pernah makan. Beberapa pasang mata melihat tingkahku seraya senyum-senyum enggak jelas. Tapi aku enggak peduli. Aku tipe orang yang kadar cueknya diatas rata-rata orang normal, bukan berarti aku tidak tahu malu. Hanya sifat bawaan orok saja meskipun aku tahu antara cuek dan tidak tahu malu perbedaannya tipis hehehe...
" Tumben lu tadi pagi bisa hampir telat datang ke sekolah ? Enggak ada angin enggak ada hujan juga. Biasanya sebelum adzan subuh lu udah nongkrong di kelas " cerocos Nuno.
" Nyindie lu ye..."
Nuno mengekeh.
" Tumben is the best, No. Soal hujan dan angin kan kita bisa bikin sendiri melalui mekanisme tubuh kita, misalnya bersin dan buang angin alias kentut..."
Nuno kembali terkekeh.
" Lu benar-benar cuek abis. Tomboy kagak feminin juga kagak, makhluk nanggung lu mah "
" Enggak apa-apa gue dibilang makhluk nanggung juga asal jangan dibilang makhluk ciptaan Tuhan yang gagal saja "
" Makanya lu punya pacar biar lu enggak jadi orang yang nanggung "
Aku mengkerutkan kening, enggak mengerti.
" Apa hubungannya sama pacar?"
" Kata orang nih, cinta bisa merubah watak dan sifat seseorang. Kali aja lu ngerasain jatuh cinta, lu bisa seratus persen jadi cewek feminin enggak tomboy asal-asalan kayak begini..." cerocos Nuno.
" Feminin itu pilihan, tomboy itu keputusan. Cinta bukan hal yang bisa dipaksakan tapi harus murni datang dari hati. Biar dapat chemistry-nya. Kalaupun gue belum ngerasain jatuh cinta itu karena hati gue belum tergerak tiap kali melihat kaum Adam disekitar gue. Bagi gue, jomblo itu nasib, single itu prinsip . Semua ada waktunya dan gue harap kisah cinta gue bisa indah pada waktunya." cerocosku tak kalah panjang.
Nuno terdiam seketika.
Haaaah. Nuno menarik nafas panjang.
" Bisa putih semua rambut dikepala gue kalau harus berdebat sama lu mah, si calon penulis."
Giliran aku yang terkekeh.
" Nah, lu sendiri gimana ? Gue belum pernah dengar lu cerita soal cewek sama gue "
Nuno tersenyum tipis.
Ya.., kalau aku pikir enggak pernah sekalipun Nuno bercerita soal cewek padaku, lagi ngincer cewek mana atau lagi dekat sama siapa juga aku sama sekali enggak tahu. Yang kutahu dia selalu berada disampingku, mendengar ocehanku bercurhat ria dan mensupport obsesiku yang ingin menjadi penulis ternama. Aaahhh... Memang seperti itu kan harusnya yang jadi sahabat ? Tapi sebaliknya, aku enggak pernah tahu apa-apa tentang Nuno. Egoiskah aku ? Atau aku terlalu cuek sampai-sampai kehadirannya cukup sebagai teman bercanda saja?
" Ada cewek yang gue suka. Dia orangnya asyik,cuek dan terkadang terkesan autis kalau sudah berada di alam khayalannya bersama pena dan buku harian kecilnya. Tapi sayang, dia enggak pernah peka dengan perasaan gue. Hatinya belum tergerak dengan kehadiran gue "
Aku terdiam.
" Lu ngomongin gue ??"
Nuno tersenyum.
" Terkadang dia lemot. Atau mungkin udah permanen kali ya lemotnya..,!" ujar Nuno seraya beranjak pergi.
Aku kembali terdiam.
Haahh !!? Maksudnya...??!!
Aku mulai gelisah, tak bisa berpikir apa-apa. Otakku mendadak beku dan buntu, enggak ada inspirasi sedikitpun untuk bahan tulisanku. Itu karena siang tadi sepulang sekolah aku sengaja mampir ke toko buku mencari materi untuk tugas di sekolah. Mataku melihat sekeliling buku-buku tapi dasar penyakit lama bukan buku- buku yang aku lihat melainkan majalah remaja yang sedang 'in'. Iseng aku buka dan baca-baca, seketika mataku terbelalak- antusias ketika ku lihat ada sayembara mengarang novel remaja yang di adakan oleh majalah tersebut dan salah satu penerbit itu terpampang di halaman utama. Aku tersenyum sendiri, penuh antusias.

Aku suka menulis bukan sekedar hobi atau untuk mengisi waktu luang saja tapi aku punya target yang menjadikan 'menulis' sebagai profesi, suatu hari nanti. Maka, ada kesempatan besar seperti ini enggak akan aku sia-siakan.

Setiap manusia pasti punya harapan dan mimpi yang berbeda-beda. Boleh dibilang itu yang namanya cita-cita. Dan menulis adalah cita-citaku, meskipun banyak yang bilang menjadi penulis bukan profesi yang menjanjikan tapi bagiku tidak. Bukan karena aku mendefinisikan menulis itu mengasyikkan, menjadi penulis juga bisa sukses dari segi meteri. Banyak contoh penulis yang sukses dari hasil menulisnya.
" Lu serius mau ikutan sayembara mengarang novel remaja itu ?" tanya Lulu, teman sekelasku.
" Seriuslah ! Jadi penulis itu udah jadi obsesi gue ".
" Tapi gue ragu lu bakalan serius ngikutin itu sayembara, secara lu dari sikap dan tampang enggak ada tuh tampang-tampang suka nulis. Tiap pelajaran sejarah saja lu molor mulu " ucap Lulu lagi, sedikit mencibir.
" Ah....sekate-kate lu. Lihat saja, ya gue pasti bisa jadi pemenang di sayembara itu ". Ucapku penuh antusias.
" Siapa yang bikin sambel ? Minta dong mumpung aye lagi makan, nih " timpal seseorang ikut nimbrung di antara obrolan kami. Aku dan Lulu kontan menoleh ke arah suara. Aku langsung menarik nafas panjang waktu tahu pemilik suara itu. Itu Nitnot, teman sekelasku yang terkenal kupingnya yang tulalit. Ngomong sama ini anak bikin orang jadi tua sebelum waktunya.
" Bukan sambel, Not tapi sayembara bikin cerita ". Lulu menjelaskan dengan suara agak tinggi, berhubung Lulu tahu kalau kuping Nitnot rada tulalit.
" Ah... Ngapain juga ngomongin cinta ?! Cinta itu bau, kayak ditarik itu urat leher saking baunya. Soalnya kata orang ye, cinta itu diibaratkan kentut, ditahan bikin sakit perut tapi kalau dikeluarin bikin ribut..."
Aku dan Lulu saling pandang.
" Bukan ngomongin cinta tapi bikin cerita !!! Ngomong sama lu tuh yang kayak ditarik urat leher, setres. Mending lu periksain tuh kuping ke dokter !!!" Lulu masih menanggapi omongan Nitnot, kali ini dengan emosi.
" Ah... Aye setuju. Cinta emang terkadang angker, saking angkernya kadang suka ada istilah cinta ditolak dukun bertindak. Idiiiihh...,angker kan ?!".
Lulu kontan berdiri seraya berkacak pinggang. Mukanya memerah, marah. Sedangkan aku mati-matian menahan tawa.
" Not, siapa yang ngomongin cinta yang angker?? Ngaco banget, sih...!!".
Nitnot nyengir. Tampangnya terlihat rada malu.
" Oh... Maap, maap, dah."
" Bagus lu minta maaf, Not. Kalau enggak lu yang gue santet ke dukun."
Lulu kembali duduk. Tapi gerakan tangannya untuk membenarkan posisi kursinya, terhenti ketika Nitnot mulai bicara lagi.
" Maap ye, Lulu. Aye juga ngerti perasaan Lulu, kalau soal pikun sih, babeh aye juga begitu. Emang nyebelin banget ngomong sama orang pikun. Ye kan ??"
Tawaku langsung pecah.

***********

Biar saja orang lain ragu dengan kemampuan menulisku. Yang terpenting aku akan berusaha semampuku, meskipun aku sadari kosa kata dan penempatan bahasaku tidaklah seindah seorang penulis profesional. Tidak ada istilah menyerah sebelum mencoba. Itu motoku.
" Enggak usah di dengerin ocehan orang lain. Buktikan kalau lu bisa mewujudkan impian lu." Nuno menghiburku ketika ku ceritakan kebimbanganku.
Ah... Dan memang selalu saja Nuno yang selalu menampung curhatan dan yang selalu berada disampingku.
" Gue selalu ngedukung lu. Pasti. Kalau perlu bantuan apapun hubungi gue. Tapi satu yang gue enggak bisa bantu, jangan nyuruh gue ngebantuin mikirin kata-kata buat bahan tulisan lu. Maklum nilai bahasa gue ancur, merah mulu..,"
Aku tertawa pendek lalu mengangguk perlahan.

Taman sekolah tampak sepi selepas para siswa beranjak pulang dan terbebas dari jejalan materi seharian ini. Aku memandang sekeliling taman , suasana segar langsung merasuk pikiranku. Taman memang tempat yang pas buat mencari inspirasi.
" Nulis naskah, ya ?"
Aku kaget dengan suara yang tiba-tiba saja muncul. Refleks aku menoleh ke arah suara. Dan ternyata Dhani, teman sekelas Nuno sudah berada di sampingku.
" Taman memang tempat yang cocok untuk mencari inspirasi. Apalagi kalau kalau otak lagi buntu."
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi.
" Kenapa lu belum pulang ?" tanyaku agak ketus. Hatiku masih sedikit menyimpan rasa kesal dengan sikap dia dan Nuno yang menertawakanku tempo hari.
" Gue baru beres latihan buat pementasan kabaret Minggu depan." jawabnya tersenyum manis.
Aku mengkerutkan kening.
" Lu anak kabaret ?"
Dhani mengangguk mengiyakan.
" Obsesi gue pengen jadi pemain kabaret atau teater profesional. Gue gabung di AAP house. Ikutan di klub kabaret sekolah cuma buat mengasah kemampuan gue saja. " cerocosnya.
Aku melongo mendengarnya. AAP House ? Itu kan klub kabaret dan teater ternama di Bandung, pementasannya sudah terkenal dimana-mana.
" Hebat ! Lu beneran salah satu anggota AAP House ? Keren dong ."
Dhani tertawa pendek lalu mengangguk mengiyakan.
" Gue bersyukur selalu jadi tokoh utama dalam tiap pementasan. Itu bisa jadi modal gue untuk melangkah ke jenjang profesional."
Aku memandang lekat cowok yang ada disebelahku. Benar-benar enggak aku sangka, cowok yang kelihatannya pecicilan begitu ternyata punya talenta hebat. Apa karena kesan pertama yang dia buat itu jelek makanya aku kurang suka ?.
" Nuno cerita katanya lu ikutan sayembara mengarang novel remaja, ya ?."
" Iseng-iseng saja, nyalurin hobi."
" Hobi yang bagus. Menulis itu enggak gampang makanya daritadi lu cuma bengong doang."
Eh ? Refleks aku melihat Dhani. Kok tahu daritadi aku bengong ?.
" Membuat kata-kata yang indah itu susah. Bahasa dalam tulisan berbeda dengan bahasa yang di ucapkan yang terkadang lebih simpel. Gue kesusahan dalam mengolah kata."
Dhani kembali tertawa pendek.
" Gue ngerti. Gue juga sering ngalamin hal kayak gitu. Kesulitan mengolah kata menjadi sebuah cerita sebelum akhirnya di fix."
" Emang naskah dalam kabaret lu juga yang bikin ?."
Dhani mengangguk.
" Sebenarnya modal jadi penulis tuh gampang-gampang susah. Gampang karena tiap orang pasti bisa nulis, susahnya dia kudu punya teknik menulis yang oke banget." ujarnya seraya tersenyum. Aku hanya bisa terdiam.
" Lu tahu banget, ya tentang kepenulisan ?"
Aku kemudian terdiam, berpikir. Agak malu aku menatap Dhani.
" Ehm.... Boleh enggak gue belajar teknik nulis yang oke sama lu ?" pintaku, agak malu.
Dhani tertawa renyah lalu menatapku yang disertai senyum manisnya. Sesaat pandanganku beradu dengannya.
" Umumnya usaha tiap orang untuk menjadi seorang penulis profesional memang berawal dari kebiasaan menulis diary, puisi, dan ada pula yang sampe rajin mengikuti workshop-workshop jurnalistik atau kepenulisan atau sekedar coba-coba mengirim cerpen karyanya ke redaksi-redaksi majalah." cerocosnya panjang Lebar.
" Naskah gue bisa terbengkalai kalau gitu. Learning by doing juga bisa kan ?"
" Gue enggak bisa ngajarin lu teknik menulis, secara bidangnya juga beda. Tapi memang, kadang-kadang untuk menulis kita juga membutuhkan rangsangan atau stimulus yaitu hasrat/dorongan untuk membuat sebuah tulisan. Gue cuma saranin, mending lu rajin mampir ke toko buku dan baca-baca buku yang sekiranya menarik untuk menambah teknik bahasa lu, sedangkan untuk inspirasi, lu bisa lihat dari pengalaman orang lain atau diri lu sendiri atau mungkin jadikan seseorang sebagai inspirasi menulis lu ." cerocosnya lagi yang tanpa sadar membuatku kagum dengan sosok Dhani.
Aku kembali terdiam. Semua ucapannya benar-benar inspiratif. Cerdas. Seketika ada rasa kagum dengan sosok Dhani yang awalnya aku pikir cowok pecicilan.
" Gue cabut dulu, ya." ujarnya seraya melirik jam tangannya.
" Gue doain sukses buat lu. Semangat!!" ujarnya lagi dengan mengepalkan tangan.
Aku tersenyum mengangguk.
" Jadikan seseorang sebagai inspirasi menulis ??" gumanku mengulang ucapan Dhani.
Yiiihhaaa...... !!!

*****
Pagi hari kelasku diributkan dengan kehadiran Dhani yang entah kenapa malah masuk ke kelasku, kelas IPS. Sedangkan dia sendiri di kelas IPA. Kulihat expresi terkejut Dhani melihat keberadaan guru yang tengah membelakangi dia. Dengan segera dia berusaha keluar kembali dari kelasku, tapi sayang mata Pak Gultom yang terkenal killer itu awas menangkap sosok Dhani.
" Heh ! Mau kemana kamu ??"
Dhani terlihat cengengesan. Tampak Pak Gultom menghampiri dan memandanginya lekat.
" Kamu bukan anak kelas ini, kan ? Nama kamu siapa ? Anak kelas mana ?!" suara Pak Gultom menggema.
" Saya Dhani, Pak anak IPA.2. "
" Terus kenapa kamu masuk kelas ini ? Ini kelas IPS."
Tiba-tiba aku merasa enggak tega melihat Dhani seperti penjahat yang dihakimi. Kenapa juga dia masuk ke kelasku ??
" Maaf, Pak saya lupa menuju kelas IPA. Enggak ada di peta, sih "
Kelasku mendadak riuh dengan suara tawa. Enggak aku sangka dia bisa memberi jawaban yang konyol terhadap guru yang terkenal killer itu. Aku jadi ikutan tertawa melihat tingkahnya.
" Nanti akan aku buatkan peta lokasi sekolah ini berikut letak-letak tiap kelas khusus buat kamu !! Sekarang cepat pergi ke kelas kamu !" suara perintah itu makin menggema.
" Iya, Pak. Kayaknya sekarang saya sudah ingat jalan menuju kelas IPA. Permisi, Pak !"
Pak Gultom mendelik menunjukan tampang garangnya sedangkan Dhani dengan santainya bersikap konyol di hadapan guru killer itu.
' otak dia konslet juga' aku tertawa.
Sekilas sebelum keluar dari kelas, sekilas Dhani tersenyum menoleh ke arahku.
Ah... Jantungku kembali berdegub. Ada apa dengan hatiku ??
Langkahku terhenti, ku urungkan niatku menuju kantin. Pandanganku terpaku pada sosok yang tengah berakting di pentas. Begitu expresif dan menjiwai. Ah... Entah kenapa mataku enggak ingin lepas menatapnya. Perlahan, setiap kali melihatnya, akhir-akhir ini tepatnya jantungku berdegub kencang.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku ??
" Serius banget lihat orang akting, sampe bengong gitu.... Awas entar laler masuk lagi..."
Aku kaget dengan kehadiran Nuno yang tiba-tiba sudah berada disampingku.
" Penampilan Dhani keren, ya? Ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku.
" Tumben lu muji cowok ?"
" Sebelumnya dia pernah ngasih saran sama gue untuk menjadikan seseorang sebagai inspirasi gue dalam menulis. Gue udah nemuin seseorang itu..."
Nuno menoleh ke arahku.
" Memangnya siapa seseorang yang jadi inspirasi lu ??"
Aku tersenyum menatap Nuno.
" Dhani."
Kulihat Nuno diam tercekat tanpa suara.
" Tumben lu ngomong serius kayak gini ? Lu enggak sakit, kan ?"
" memangnya gue kelihatan kayak orang pesakitan, ya ? Gue cuma ngerasa, udah saatnya mendengarkan hati seusai logika "
Nuno menempelkan punggung tangannya ke jidatku.
" Lu enggak lagi demam, kan ? Lu ngomong kayak orang yang lagi jatuh cinta saja.."
Aku tersenyum menanggapi omongan Nuno.
" Kayaknya gue nemuin seseorang yang bisa menggerakkan hati gue. Aahh...ini ya yang namanya jatuh cinta." aku senyum-senyum.
" Lu enggak becanda, kan ?."
Aku mengangguk perlahan, tatapanku terus tertuju pada Dhani. Ya, Dhani.
" Kenapa harus dia ?" guman Nuno lirih, tapi masih terdengar Olehku.
Ehh.....????

Aku manatap lesu naskah yang ada dihadapanku. Batas deadline sayembara yang aku ikuti tidak lama lagi, tapi naskahku masih banyak yang kurang. Aku jadi pesimis bisa menyelesaikan naskah tepat pada waktunya.
" Kok bengong ? Naskah cuma dipelototin doang."
Aku terperanjat, kaget. Aahh... Selalu saja aku tidak pernah menyadari kehadiran seseorang yang menghampiri. Dhani sudah ada dihadapanku.
" belum ada ide, ya buat bahan tulisan?."
Aku hanya mengangguk males, tanpa menyahut. Dhani tersenyum melihat sikapku.
" Gue pesimis bisa ikutan sayembara mengarang novel itu. Naskahnya banyak yang kurang sedangkan gue sendiri susah nyari ide."
Dhani terdiam. Lalu ditariknya tanganku untuk mengikuti dia.
" Ikut gue. Kita ke suatu tempat dimana lu bisa nuangin ide-ide lu. Gue yakin lu bakalan suka tempatnya." Dhani terus menarik tanganku.
" Tapi gue lagi nunggu Nuno. Gue mau ke toko buku nyari ide bareng sama Nuno," tolakku,ragu.
" Apa bedanya sama gue ?toh, gue juga ngajakin lu cari ide. Memancing imajinasi lu buat berinspirasi."
Aku berpikir sejenak. Dhani lebih tahu tentang dunia menulis dibandingkan Nuno, tapi aku sudah janji duluan mau pergi bareng Nuno.
Hemm... Sudahlah, pergi sama Nuno bisa kapan-kapan lagi, kalau sama Dhani kapan lagi toh sekalian belajar teknik menulis juga.
" Gimana ?"
Aku mengangguk mengiyakan ajakan Dhani.
Aku enggak tahu dimana tepatnya daerah ini. Tanpa memperhatikan jalan atau apapun tubuhku nurut saja dibawa kemana pun Dhani pergi. Dengan motor besarnya tentu. Aku takjub melihat pemandangan sekitar. 2 jam perjalanan tak sia-sia setelah melihat hamparan alam yang begitu indah dan sejuk. Perkebunan teh dan pohon-pohon rindang yang begitu hijau ditambah kontrasnya warna biru langit serta sinar mentari yang bersinar hangat membuatku semakin kagum dengan ciptaan-Nya. Pelukis Agung yang tak akan ada yang menyamai.
Aku menghirup udara dalam-dalam. Seketika sejuk memasuki rongga tenggorakan kemudian menyebar ke paru-paru. Terpaan udara sejuk pun seolah mendinginkan otakku.
Dhani melirik ke arahku seraya tersenyum.
" Gimana ?" tanyanya, bibirnya enggak lepas dari senyuman.
" Hebat! Benar-benar pemandangan yang indah." jawabku kagum.
" Kadang tanpa kita sadari alam pun bisa dijadikan inspirasi menulis. Bukan hanya dari pengalaman pribadi ataupun orang lain. Segala aspek kehidupan itu merupakan bagian dari cerita."
Aku menatap Dhani yang tengah menikmati pemandangan alam. Rasa kagum dihatiku berubah menjadi rasa yang bagiku masih asing. Rasa suka-kah ? Atau rasa cinta ?
" Ya. Alam pun mempunyai cerita tersendiri sama halnya dengan kita yang makhluk sempurna. Hanya saja alam mengekspresikan cerita mereka dengan cara mereka sendiri."
Kini Dhani mengalihkan pandangannya ke arahku. Sesaat lamanya pandangan kami beradu.
Dhani tersenyum dengan senyum khasnya.
" Gaya bahasa lu sudah kayak penulis profesional saja. Tapi gue suka, berarti enggak sia-sia lu gue bawa kesini,"
Aku tertawa malu.
" Apaan, sih lu. " agak malu aku mendengar ucapan Dhani.
Dhani tertawa renyah melihat ekspresi maluku.
" Lu bisa malu juga, ya. Kirain cewek yang suka ngebajak angkot tuh ga punya malu." Dhani tertawa.
" Haloooo..,!! Gue masih punya rasa malu, tau ! Urat malu gue kan belum putus-putus amat. Sedikit-sedikit mah masih nyambung."
Dhani terkekeh, tawanya makin lebar.
" Gue cuma heran, kok ada cewek yang senekat itu. Tanpa pikir panjang langsung maen bajak saja."
" Memangnya lu tau riwayat gue sampe ngbajak angkot ? Enggak kan ? " ujarku agak sewot.
" Gue tau kok. Nuno yang cerita. Selalu dan selalu lu yang Nuno ceritain. Gue jadi penasaran juga dan gue jadi tau banyak soal lu."
" Ngapain juga si Nuno ngomongin gue. Enggak ada kerjaan banget." gumanku lirih.
" Ternyata mengenal orangnya secara langsung lebih mengasyikan daripada mendengar ceritanya doang." Dhani tersenyum dan pandangannya belum lepas dariku.
Aku salah tingkah dan mengalihkan pandanganku ke sudut lain. Huft... Ini orang bikin ge-er saja.
" Penyakit cowok,ya. Pintar banget ngomong yang manis-manis. Adeuuuhh..." aku menepak-nepak jidatku. Dhani tetap dengan senyum khasnya.
Aku terdiam, begitupun Dhani. Aku sibuk dengan khayalanku sendiri seraya memandang hamparan alam di depanku. Ku lirik Dhani yang juga sama denganku, termenung dalam khayalannya seraya memandang hamparan alam.

************

Setengah berlari aku kesana kemari dengan pandangan mengedar ke seluruh pelosok sekolah, berharap menemukan sosok yang aku cari. Mampir ke kelasnya, enggak ada. Mencari ke kantin juga enggak ada. Kemana dia ?. Aku menghela nafas. Perasaan bersalah hinggap di hatiku sepulang main dengan Dhani.
'ah...aku tahu dia dimana' pikir ku. Aku langsung berlari menuju taman belakang sekolah, tempat dimana aku selalu menyendiri. Dan benar saja, dia berada di taman ini berbaring di atas rerumputan hijau dengan mata terpejam.
Aku melangkah mendekat dan duduk di dekatnya.
" Nuno.... " panggilku lirih.
Nuno diam tak menyahut. Matanya tetap terpejam. Tidurkah atau berpura-pura tidur??
" Maafin gue... Ninggalin lu di sekolah tanpa ngasih tahu." ucapku lagi. Tetap tak ada sahutan.
Aku tahu Nuno marah. Dan wajar kalau dia marah karena aku udah ngebatalin janji untuk pergi ke toko buku bareng dia ditambah lebih memilih pergi bareng Dhani dan ninggalin dia tanpa kabar.
"Nuno..... " panggilku, agak merengek.
Nuno membuka matanya lalu menoleh ke arahku. Aku manyun lihat sikap Nuno.
" Maafin gue....." Aku kembali memelas.
Nuno bangun dari bangun lalu duduk.
" Lu beneran suka sama Dhani ?" tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam, nggak menyahut.
" Gue tahu karakter lu kayak gimana. Lu orangnya cuek sama cowok, susah banget hati lu tergerak sama cowok. Tapi sikap lu sama Dhani beda...." Nuno terdiam.
" Lu beneran suka sama Dhani?." tanyanya lagi, mendesak.
Aku menggangguk.
" Gue suka sama Dhani. Gue juga nggak tahu rasa suka gue ini karena rasa kagum atau memang beneran cinta. Tapi, baru kali ini hati gue ngerasain hal ini."
Kulihat Nuno memalingkan muka.
" Lu satu-satunya sahabat yang ngertiin gue. Cuma sama lu gue terbuka." aku terdiam
" Lu marah gue suka Dhani???"
Nuno terdiam. Lama. Entah apa yang ada dipikirannya dan entah apa yang membuat dia marah aku menaruh hati sama Dhani. Lama sahabatan baru kali ini aku lihat sikap Nuno yang seperti ini.
" Kenapa mesti Dhani.?"
Ehh ? Aku kontan menatap Nuno.
" Kenapa lu nggak peka dengan keberadaan seseorang disekitar lu ."
" Maksud lu apaan.?"
Nuno menarik nafas panjang lalu menatap lekat ke arahku.
" Lu benar-benar lemot, ya. Ya sudahlah... Apa yang lu suka pasti gue dukung. Lu kan sahabat gue.!"

*********

Nitnot menghampiri aku dan Lulu yang tengah asyik membaca majalah di kelas. Mukanya ditekuk cemberut.
" Kok lu pada kagak ngasih tahu aye pada ikutan les."
" Ya lu tinggal ikutan saja, gampang kok. Sejak tahu Pak Gultom si guru matematika jauh lebih killer, anak-anak memang jadi ikut les tapi les lari. Biar dari jauh papasan sama Gultom yang menuju ke kelas, anak-anak bisa sampai duluan." cerocos Lulu.
" Lu, pelan-pelan ngejelasinnya. Kan lu tahu kuping si Nitnot tulalit." ujarku.
" Yang ketangkep sampe mana tadi, Not?"
Nitnot terdiam. Lama sangat. Sampai aku dan Lulu beres baca majalah, Nitnot masih terdiam. Bahkan sampe bel berbunyi pertanda pulang, Nitnot masih saja terdiam .
" Tadi lu pade ngomong apa, ya? Aye kagak denger..."
Haaashh...

Tiga hari ini aku tidak melihat Dhani. Biasanya jadwal latihan kabaret klubnya seminggu dua kali dan sekarang adalah jadwalnya latihan. Tapi aku tidak menemukan sosok Dhani di aula. Kemana dia? Ada pentaskah di AAP house-nya?
" Ehm...? Dhani ? Dia ada pentas di hotel preanger nanti sore." kata Nuno ketika ku tanya tentang keberadaan Dhani yang sudah tiga hari tidak kelihatan.
Aku terdiam. Ada sedikit kecewa menyelimuti hatiku. Ada rasa ingin bertemu mendera hatiku. Rindukah aku ?
" pengen lihat aksi panggung dia ." ujarku tiba-tiba.
Nuno menatapku. Lalu membuang pandangannya ke arah lain.
" Gue nggak bisa nganter, ada perlu. Hari ini ada latihan band." ujarnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Aku terdiam. Ada yang beda dengan sikap Nuno. Lebih pendiam dan terkesan menghindariku. Ada apa dengannya ??
" Gue belum pernah lihat pementasan di hotel sebelumnya. Jadi gue nggak tahu gimana cara pembelian tiketnya. Lu kan sering lihat dia pentas."
" Lain kali saja. Kan gue udah bilang ada latihan band."
" Ya udah. Gue pergi sendiri saja."
Aku langsung pergi meninggalkan Nuno. Entah kenapa sikapnya berubah.

Aku berdiri termenung di halte, menunggu bus datang. Terik mentari begitu menyengat, membuatku ingin segera tiba di rumah. Tiap hari, biasanya aku tak perlu repot-repot berpanas-panasan ria di halte menunggu bus karena tiap harinya Nuno lah yang selalu mengantarku pulang. Semenjak tregedi pembajakan angkot tempo hari.
Aku mengibas-ngibaskan buku yang aku pegang ke wajah berharap udara yang dihasilkan bisa sedikit menghilangkan panas yang kurasa. Cuaca siang hari ini benar-benar nggak bersahabat. Dari kejauhan aku melihat sebuah motor Ninja merah melaju mendekat dan berhenti tepat di depanku, motor yang tak asing lagi bagiku. Motor Nuno.
“ Ayo, gue anter pulang,” ucapnya mengajak.
“ Nggak usah. Gue naek bus saja. Lagian gue mau langsung ke hotel preanger lihat aksinya Dhani di panggung.” Tolakku ketus.
Nuno menghela nafas panjang. Disodorkannya helm padaku.
“ Cepat naik, gue anter lu ke hotel preanger lihat pementasannya Dhani. Mulainya satu jam lagi. Kalau pulang dulu nggak bakalan sempat.”
“ Tadi lu bilang nggak bisa nganter, kenapa sekarang bisa? Bukannya lu ada latihan band?.” Tanyak ragu.
“ Gue batalin. Lagian gue nggak bisa ngebiarin lu pergi sendirian kesana. Yang ada lu malah kayak orang bego yang nggak tahu apa-apa.” Jawabnya.
Aku mengambil helm yang disodorkan Nuno dan memakainya. Di bonceng Nuno di belakang motorpun melaju cepat. Aku nggak tahu hal yang membuat Nuno, yang menurutku sikapnya berubah semenjak aku dekat dengan Dhani dan semenjak kejujuranku kalau aku menaruh hati sama Dhani. Tapi apa yang salah? Toh, kita cuma sahabat.
Tiba di hotel aku dan Nuno langsung memasuki aula dimana Dhani pentas. Ada rasa senang dalam hati ketika tahu aku akan melihat Dhani meskipun cuma di atas pentas.
Pementasanpun dimulai. Dan benar saja Dhani menjadi tokoh utama dalam pementasan itu. Aktingnya keren, menjiwai dan terkadang konyol juga. Ekpresinya alami, tampak dia begitu menjiwai perannya.  Ahhh.. entah kenapa aku begitu mengagumi dia, begitu memuji dia. Padahal aku tidak tahu apa-apa entang dia. Kesan pertama yang dia buat mungkin membuatku tak melirik sedikitpun terhadapnya,membuatku beranggapan dia cowok pecicilan yang tak jauh berbeda dengan kebanyakan cowok lainnya. Tapi, perbincangan yang tak disengaja membuatku mengubah pemikiran itu. Mungkin dia pecicilan tapi dibalik itu dia mempunyai kecerdasan linguistik, itu setidaknya menurutku.
Pagelaran kabaret usai. Dhani sengaja menghampiri aku dan Nuno yang sedari awal menonton aksi panggungnya.
“ Wah, thank’s banget udah mau nonton pentas gue.” Ucapnya riang.
“ Ada yang kangen sama lu.” Ucap Nuno seraya melirik ke arah ku.
Aku gelagapan, salah tingkah dan kaget mendengar ucapan Nuno yang tiba-tiba. Dhani melirik ke arahku seraya tersenyum manis.
“ Kangen sama gue? Kalau gitu gue bisa dong ngajak jalan berdua?” Dhani kembali tersenyum dan memamerkan deretan giginya yang rapi. Matanya melirik nakal padaku.
Aku tersenyum, malu.
Setibanya dirumah, aku langsung membantingkan tubuhku ke kasur. Senyam-senyum sendiri seperti orang gila. Tapi satu yang selalu tak aku pahami. Sikap Nuno yang terus-terusan ketus padaku. Seperti tadi sewaktu mengantarku sampai depan rumah. Tanpa berkata apa-apa dia berlalu begitu saja. Tidak seperti biasanya yang mampir dulu sebentar ke rumah cuma sekedar berpamitan pada mama.
Aahh... kenapa dia??? Masih marahkah dengan kejadian kemarin? Tapi aku kan udah minta maaf.

 ‘ sepertinya aku jatuh cinta. Cinta untuk yang pertama kalinya. Indah dirasa, aku harap begitu seterusnya. Terlalu dini untuk diungkapkan tapi terlalu menyiksa untuk disimpan. Entah apa yang aku harapkan, biar begini saja dulu adanya. Dia terlihat dekat tapi sebenarnya sulit dijangkau. Dia terlihat biasa tanpa disadari ternyata istimewa. Cinta, biar kusimpan rasa ini sampai tiba waktunya kau ku ungkapkan. Pada saat yang tepat dan indah pada waktunya. Dia yang selalu menjadi inspirasiku, semoga tidak hanya sekedar anganku.’
Aku tersenyum tipis melihat naskah yang ada di depanku. Delapan puluh persen hampir beres. Tiap orang sudah punya jalan cerita masing-masing menurut skenario yang telah ditentukan Sang Pencipta. Naskahku, cerita hidupku. Aku nggak tahu akan seperti apa akhir dari ceritaku tapi kuharap semoga bahagia di akhir.
“ Maaf, nunggu lama ya...?” ujar seseorang menghampiriku.
Aku tersenyum menggeleng.
“ Nggak kok. Lagian sambil nunggu aku ngerjain naskah novelku.”
Aku menatap sosok yang ada di hadapanku. Dhani dan selalu Dhani.
“ Akhir-akhir ini gue sibuk. Jadwal panggung yang padat belum latihan-latihan buat persiapan pentas dan satu lagi, sampai naskah pun ikut menyibukkanku.” Cerocosnya.
“ Pantes jarang masuk sekolah. Bolos mulu.”
Dhani tertawa kecil.
“ Resiko. Gue pengen jadi pemain teater, minimal pemain kabaret secara profesional. Tapi bukan berarti gue ngorbanin sekolah juga.”
“ sibuk mulu. Entar susah dapet pacar lho.” Candaku, sedikit memancing.  
Ya, aku ingin tahu cowok seperti Dhani akan bicara seperti apa tentang cewek.
“ Yang gue prioritaskan adalah obsesi gue. Bagi gue cewek itu nomor sekian. Cita-cita gue pengen sekolah teater ke jepang. Pasti seru.”
Aku tersenyum kecut. Cewek nomor sekian? Apa itu berarti aku tidak ada harapan? Tidak boleh berharapkah?
Jalan berdua bersama Dhani seperti ini memang menyenangkan tapi hatiku seperti ada yang menusuk. Entah kenapa.  

Dan benar saja seperti yang Dhani bilang kalau dirinya akan sibuk sampai menyita waktu. Sudah tiga hari dia tidak masuk. Kabarnya dia ada pementasan di luar kota.
“ Lu murung amat, sih? Kenapa?.” Nuno tiba-tiba memegang keningku.
“ Lu nggak sakit, kan?”
Aku menggeleng pelan. Hatiku bergemuruh. Kata orang rindu itu indah, tapi bagiku menyiksa. Apalagi aku merindukan orang yang nggak tahu akan perasaanku selama ini. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh.
“ Lu benar-benar cinta sama si Dhani?” tanya Nuno beberapa hari yang lalu.
“ Gue baru pertama jatuh cinta. Tapi kenapa begitu sulit ku jalani. Cinta sama orang yang nggak tahu perasaan kita, menyakitkan ya?” ucapku lirih.
“ Cinta terasa indah atau tidaknya tergantung kita yang ngejalaninnya. Kalau dirasa cinta itu menyakitkan, lepaskan saja.” Ucap Nuno kala itu.
Tapi tak mudah. Karena kenyataannya aku benar-benar jatuh cinta pada Dhani, si pemain kabaret. Dia dekat tapi begitu sulit di jangkau. Seperti hari ini, aku hanya bisa melihat dia waktu latihan. Berpapasan pun cuma kata ‘hai’ saja yang terlontar dari mulutku, karena kesibukan dia yang padat. Beberapa kali janji ketemu hanyalah janji, ada saja hal yang membatalkan rencana jalanku dengan dia. Masalah di panggunglah, naskah yang di fix ngegantunglah dan jadwal latihan yang mendadak. Capek hati, tapi tetap aku menunggunya. Menunggu pernyataan darinya.
Dia kadang memberi aku kejutan-kejutan ringan yang tak aku duga. Memberiku benda yang dia ingin aku menyimpannya. Memberiku harapan seolah diapun merasakan hal yang sama denganku. Aku melambung tapi seketika hancur begitu saja.
“ Lu murung lagi.” kata Nuno.
“ Jalan yuk. Gue ogah lihat lu yang murung gitu. Mana diri lu yang dulu?” ucap Nuno lagi.
Aku Cuma diam tak menyahut.
“ Dia yang selalu memberi gue harapan, kalau dia merasakan hal yang gue rasakan tapi dia juga yang matahin harapan seolah dia nggak ada rasa sama gue.”
Nuno terdiam.
“ Gue selalu  menunggu dia. Meskipun dia ingkar karena kesibukan dia. Gue merasakan cinta tapi gue juga merasakan sakit dari cinta itu. Gue selalu membayangkan kalau kisah cinta gue bisa seperti cinderella yang bahagia di akhir nggak seperti marmalade si putri duyung yang selalu menyimpan rasa cintanya sampai dia mati.”
Tak terasa air mataku menetes. Memang menyakitkan cinta yang hanya dipendam dalam hati. Nuno mengusap airmataku yang menetes.
“ Lupain dia.”

Hari ini pun Dhani ngajak jalan,berdua selepas bubar sekolah. Aku menyambut gembira ajakannya. Berharap sekarang momen yang aku tunggu dimana dia menyatakan perasaannya padaku.
“ Ayo, gue anter pulang,” Nuno menyodorkan helm padaku.
Aku menggeleng menolak tawarannya seraya tersenyum.
“ Gue mau jalan sama Dhani. Lu duluan saja.”
Kulihat ekpresi wajah Nuno berubah. Aku nggak bisa menangkap makna perubahan ekpresinya itu.
“ Lu harusnya lebih peka sama perasaan orang lain. Buat apa lu mertahanin perasaan sepihak lu, cinta bukan lu atau Dhani saja yang punya. Buka mata lebar-lebar, ada orang yang benar-benar sayang sama lu.”
Nuno berlalu begitu saja. Aku terdiam mendengar ucapan Nuno.
Sesaat aku melupakan ucapan Nuno yang membuatku tidak paham dengan jalan dan menghabiskan waktu bersama Dhani. Bahagia kurasa. Andai seterusnya seperti ini, nggak akan ada perasaan ragu dihatiku saat ini.
Suasana malam hari di jalan Braga, bandung sangatlah menyenangkan. Apalagi waktu yang dihabiskan bersama orang yang dicinta.
“ Minggu depan gue pentas disini. Gue harap lu bisa datang.” Ucap Dhani
Aku tersenyum. Lalu? Padahal bukan itu yang ingin aku dengar dari mulutmu.
“ Datang ya. Gue takut minggu depan adalah terakhir gue pentas.”
Aku tersedak dari minumku.
“ Maksud lu.?” Tanyaku heran.
Dhani terdiam sesaat, seolah berpikir mencari kata-kata yang tepat untuk di ucapakan.
“ Gue dapet beasiswa sekolah teater di jepang. Apa yang gue impikan akhirnya tercapai. Dan gue disuruh bikin pasport buat persiapan keberangkatannya, tapi gue nggak tahu kapan. Belum ada konfirmasi. Mungkin minggu depan nggak tahu malah bulan depan.” Cerocosnya senang tapi penjelasan itu bagaikan pukulan bagiku.
Lalu perasaan aku bagaimana? Kebersamaan kita selama ini apa? Apa selama ini aku cinta sendiri? Ingin aku lontarkan pertanyaan-pertanyaan itu,tapi nggak bisa. Mulutku terasa kelu.
Sampai Dhani mengantarkanku hingga depan rumahpun aku nggak berani mempertanyakan semuanya. Nggak berani mengungkapkan perasaanku. Aku hanya diam membisu sampai akhirnya Dhani berlalu dari hadapnku.
“ Apa ?? Dhani dapat beasiswa ke jepang?” Nuno tampak kaget mendengar ceritaku.
Aku mengangguk lesu.
“ Sebelum hari itu tiba, gue akan ngungkapin semua perasaan gue. Nggak perasaan gue sampai ngegantung kayak gini.”
Nuno hanya diam.
“ Dia bilang Cuma tiga tahun dan bakalan balik lagi. gue bakalan nunggu dia.”
“ Lu jangan naif begitu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Belum ada pernyataan dari dia tapi kenapa lu susah-susah nunggu dia?”
“ Lu nggak ngerti perasaan gue. Hampir setahun ini gue menyimpan perasaan gue sama dia. Nggak mudah.”
“ Gue tahu gimana rasanya. Dan gue lebih tahu gimana nggak mudahnya menyimpan perasaan terhadap cewek yang gue sayang ternyata mencintai orang lain.” Ucap Nuno dengan suara yang terdengar agak ditekan.
Mulutku seketika terkunci mendengar ucapan Nuno. Apa maksudnya?
“ Maksud lu apa ?.” tanyaku. Ada sedikit
“ Lu benar-benar nggak peka, ya? Lu selalu sibuk dengan perasaan lu sendiri, tapi lu tahu nggak gimana perasaan orang yang selalu berada di dekat lu.”
Nuno terdiam menatapku yang tak bisa berkata apa-apa. Ya, aku memang nggak bisa berkata apa-apa mendengar semua omongan Nuno. Sedikitpun aku memang nggak pernah tahu akan perasaan Nuno, itu karena bagiku Nuno hanyalah sebatas teman, nggak lebih.
“ Gue sayang sama lu. Meskipun gue sakit mendengar hati lu malah berpaling sama Dhani, gue berusaha nerima. Tapi hati gue lebih sakit melihat cinta yang tumbuh di hati lu nggak mendapat tempat yang seharusnya.”
“ Maksud lu apa? Lu tahu kan gue Cuma cinta sama Dhani. Lu ngomong apa sih?”
Entah kenapa aku merasa nggak terima dengan pengakuan Nuno yang tiba-tiba. Aku juga sayang sama Nuno, tapi rasa sayang aku terhadapnya hanya sebatas sayang terhadap sahabat. Nggak lebih.
“ Lupain dia. Gue yang sayang sama lu, sayang yang sebenarnya. Bukan dia.”
“ Gue juga sayang sama lu,No. Tapi rasa sayang yang beda. Gue sayang sama lu Cuma sebatas sayang terhadap sahabat. Nggak lebih.” Aku terisak menangis.
Nuno terdiam. Mungkin langsung paham maksud ucapanku. Aku merasa seperti orang jahat yang tak punya hati. Aku seperti orang bodoh yang tak bisa peka dengan perasaan orang lain. Tapi aku juga ingin memilih cinta yang sesuai hatiku.
“ Maafin gue, No.”

Aku terperanjat kaget mendengar penuturan Nuno. Dhani mau berangkat ke jepang sekarang? Kenapa mendadak ? kenapa nggak ada kabar sebelumnya padaku?
“ Lu jangan bercanda? Dhani nggak bilang apa-apa sama gue. “ ucapku sedikit emosi.
“ Tadi Dhani nelpon gue. Dia bilang nggak berani ngomong langsung sama lu. Takut lu sedih.”
Nuno menyodorkanku sebuah surat mungil berwarna biru.
“ Dari Dhani. Dia Cuma titip surat itu sama gue buat lu.” Sambungnya lagi.
Dengan ragu aku meraih surat berwarna biru itu. Agak gemetar aku membuka surat yang di dalamnya terselip secarik kertas. Perlahan ku buka dan ku baca.
‘ To : Tamie
Maaf sebelumnya kalau kabar keberangkatan gue ke jepang tanpa memberi kabar sama lu. Bukan gue tega atau pun nggak menggangap lu, tapi hati gue yang nggak berani bicara langsung sama lu.
Sebenarnya hati gue berat mengatakan ini. Sebenarnya gue sempet ragu buat nerima beasiswa ini. Gue merasa berat meninggalkan kenangan bersama kita. Semua karena lu. Semua karena gue sayang sama lu. Terakhir kita bertemu, awalnya gue ingin ngungkapin perasaan gue, tapi gue nggak berani karena yang ada gue pasti bakal nyakitin lu dengan keberangkatan gue yang mendadak ini.
Gue sayang sama lu. Selalu.
Maafin gue.

From : Dhani.’

Air mataku seketika menetes. Tanpa pikir panjang aku menarik cepat tangan Nuno.
“ Anterin gue ke bandara.”  Teriakku.

Aku berlari dengan pandangan mengedar ke sekeliling bandara. Menelisik ke kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang ataupun yang menunggu check in ticket, berharap menemukan sosok Dhani, berharap waktu memberiku kesempatan untuk mengungkapkan semua perasaanku agar tak ada penyasalan selepas Dhani pergi. Tapi sosok yang aku cari tak kunjung ketemu. Aku putus asa, aku berdiri dan berputar mengedarkan pandangan ke selurug tempat, tetap nggak ada. Harapanku untuk bertemu Dhani untuk yang terkhir kalinya pupus ketika aku dengar pesawat dengan keberangkatan menuju jepang telah take off.
Aku berdiri lemas memandang pesawat yang telah terbang melayang dari jendela kaca ruang keberangkatan. Air mataku mengalir deras. Rasa sakit menusuk hatiku.
“ I love you, Dhani.... i love you...”
Aku terduduk menunduk dengan air mata terus mengalir.